55)
Waktunya berada di alam mimpi usai sudah kala suara gaduh yang berasal dari luar kamarnya itu memasuki indra perungu. Kinza terbangun, kedua kelopak matanya mengepak sayu.
Suara itu terdengar seperti suara peralatan besi yang saling beradu. Dan dugaan yang paling masuk akal ialah ada seseorang yang sedang berkutat dengan peralatan dapur. Mungkin sedang menyiapkan sarapan atau semacamnya.
Ah, benar.
Itu pasti Matthew yang sedang memasak sarapan untuk keduanya.
Disaat-saat seperti ini, tidak ada hal yang lebih membuatnya merasa seperti manusia yang paling tidak berguna di dunia. Tidak ketika Matthew lah yang justru terbangun lebih dulu dan memasak sarapan, alih-alih terbangun setelah dirinya dan menunggu untuk dilayani olehnya.
Sungguh, ia bagaikan seorang suami yang tidak berguna.
“Good morning, sayang.”
Ketika Kinza muncul dari balik pintu kamar, hal pertama yang dilihatnya adalah senyum Matthew yang cerah — yang mana sama cerahnya dengan apron berwarna kuning yang sedang dikenakannya saat ini.
“Morning,”
Apron dibuka, kompor pun dimatikan. Matthew berjalan ke arah Kinza dengan kedua mata yang berbinar. Seperti seseorang yang sedang melihat idolanya secara langsung di depan mata.
Cup.
Dan satu buah kecupan ringan di kening pun dibubuhkan.
“Tidurnya nyenyak?”
Kinza mengangguk, membiarkan kepalanya dibelai lembut oleh Matthew. Hal selanjutnya yang dilakukan keduanya adalah bermesraan satu sama lain — kini Kinza sudah berada di dalam peluk hangat Matthew, sepenuhnya meleburkan dirinya di sana dan membiarkan dirinya disayangi oleh yang lebih muda.
“Maaf, harusnya aku yang masak. Bukan kamu.”
“Sst,”
Pelukan itu semakin dieratkan. Matthew mencuri dua buah kecupan pada pipi Kinza. “Gak ada suatu keharusan kayak gitu, sayang.” Matthew mencium keningnya sekali lagi.
“Sekarang kamu tinggal sama aku. Dan aku, gimanapun caranya bakalan berusaha keras buat bikin kamu senang dan bikin kamu nyaman tinggal di sini.”
Dengan itu, Kinza tersenyum. Itu adalah senyuman yang paling manis yang pernah Matthew lihat di muka bumi.
“Sama kamu aja aku udah senang, Matthew.”
“Kalau ditambah 5 dino nugget dan dua bungkus permen jeli, kakak bakal lebih senang nggak?”
Kinza mengangguk semangat dan tersenyum lebar. Kemudian membiarkan dirinya disuapi sarapan oleh Matthew dan membiarkan Matthew total mengurusinya, dari bangun tidur hingga sudah mandi seperti sekarang.
“Mau pakai baju yang mana, sayang?”
Saat ini Kinza sedang tak berbusana. Dan handuk adalah satu-satunya hal yang menutupi tubuh indahnya. Tubuh khas seorang model yang kurus dan ramping.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Matthew lebih menyukai tubuh Kinza yang tampak sedikit gemuk dan berisi seperti dulu. Tubuh Kinza yang berlemak di beberapa bagian yang tepat, yang mana mungkin kedepannya akan Kinza dapati lagi setelah tinggal bersama dengan Matthew.
“Yang itu,” Kinza menunjuk, membuat Matthew menjatuhkan atensinya ke arah yang Kinza tunjuk.
Oh, rupanya beruang kecilnya ini ingin memakai gaun tidur.
Gaun itu adalah gaun tidur berbahan satin yang panjangnya hingga semata kaki. Berlengan panjang dan berkerah brukat. Ada sebuah pita berukuran besar juga di bagian dadanya. Yang mana itu terlihat sangat manis bagi Matthew.
Terlihat sangat cantik bagi Matthew.
“Kayak boneka.”
Kinza merona.
Ia memukul pelan dada Matthew dengan sentuhan yang centil, centil sekali. Kemudian sedikit berjinjit untuk membubuhkan kecupan kecil di pucuk hidung Matthew.
“Sini rambutnya disisir dulu, sayang.”
“Sambil dipangku tapi.”
“Iya, dipangku.”
Matthew tertawa. Lelaki itu menampar pelan bongkahan kenyal yang ada di bagian belakang tubuh Kinza sebelum mendudukan dirinya dan membiarkan Kinza duduk di pangkuannya.
“Boneka, boneka cantik.” ucap Matthew sambil menyisiri rambut Kinza yang sedikit ikal dari bagian tengah ke bawah.
“Aku gak suka rambutku. Keriting, gak bagus kayak kamu.”
“Kata siapa?”
“Kata aku.”
Matthew meletakkan sisir di atas nakas. Obrolannya dengan Kinza saat ini membuatnya ingin menjamah helaian ikal itu dengan jari-jemarinya sendiri.
“Tapi kalau kata aku, rambut kakak bagus.” ketiga jarinya menelusup ke dalam helaian ikal milik Kinza, untuk kemudian menyisirinya lembut.
“Cantik, kayak boneka. Aku suka.”
“Matthew suka?”
Kinza menoleh — mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada cermin di hadapan menjadi menatap kekasihnya kini yang tengah bergumul manja dengan bahunya.
Menciuminya dan mengendusinya.
“Suka, suka sekali.”
Dan tersenyum ketika Matthew beralih menuruni kain gaun tidurnya di bagian bahu. Hanya untuk menjamah kulit lembutnya itu dengan bibir dan juga hidungnya yang mancung.
“Besok biar aku aja yang bangun untuk bikin sarapan, ya?”
Matthew terlihat sangat nyaman mendusal di ceruk leher dan juga bahunya. Kini telapak tangan Kinza yang menangkup separuh wajahnya juga turut dijadikan tempatnya bermanja.
“Kan memang udah tugasnya aku buat ngelayanin kamu, buat ngurusin kamu.” lanjutnya lagi.
Kini, posisi Kinza telah berganti menjadi menghadap ke arah Matthew. Kain gaun tidur miliknya yang seharusnya bertengger di bagian bahu sudah diturunkan dua-duanya oleh Matthew, membuat gaun tidur itu menjadi turun hingga perut dan mengumpul di atas pinggul. Meloloskan tubuh bagian atas Kinza yang sangat-sangat mulus dan berisi di mata Matthew.
“Ngelayanin aku gak cuma berarti kamu harus bangun pagi dan bikin sarapan, kakak.”
Terkadang, Kinza lupa akan satu hal.
Bahwasannya kini, Matthewnya sudah bukan anak kecil lagi.
“Lalu? Dengan apa kakak bisa ngelayanin Matthew?”
Dan Matthew juga terkadang melupakan satu hal.
Bahwasannya kini, anak lelaki yang dulu sering ditemuinya menangis, yang dulu bahkan lebih lugu daripada dirinya, sudah tumbuh juga menjadi seorang lelaki dewasa yang pandai menggoda.
“Dengan ini?” Kinza menuntun telunjuk Matthew untuk menjelajahi garis yang membentang di atas dada hingga perut ratanya.
Oh, Kinza.
Bersiaplah karena sebentar lagi perut itu akan membuncit dengan cantiknya. Dan pelakunya adalah lelaki yang saat ini sedang menatapmu dengan lapar.
“Matthew mau ini?”
God.
Inilah salah satu sifat Kinza yang disukai Matthew.
Binal dan pandai menggoda.
Di detik berikutnya, Kinza membiarkan mulutnya dieksplor habis-habisan oleh yang lebih muda. Matthew melumat, menjilat, dan bahkan meludahi mulutnya dengan sesuka hati.
Dan ketika kedua telapak tangan Matthew menjamah bagian belakangnya, Kinza mengangkat kain pakaiannya untuk mempermudah Matthew meremas dan menampari pantatnya.
“Nikmatilah, nikmati sesukamu.”