***
Manusia, apabila merasa sensitif itu wajar. Valid. Logis. Absah. Tak ada yang menyalahkan. Pun tak ada juga yang dapat menyalahkan ketika manusia bertindak layaknya seperti manusia; yang punya hati dan perasaan, yang terkadang bisa terbawa perasaan. Baik presiden, perdana menteri, atau panglima tempur sekalipun, tak ada yang dapat menampik pernyataan yang satu itu. Sebab mereka juga manusia, bukan? Yang mana artinya, mereka juga punya hati dan perasaan. Yang dapat bersedih dan berbahagia. Bersuka ria dan berduka cita. Percaya diri dan tidak – seperti halnya yang sedang Miura rasakan sekarang.
Dan kalau sudah seperti itu, biasanya dan yang selalu terjadi selama ini, ia akan mengadu pada kekasihnya. Pada kekasih mudanya yang kini juga berstatus sebagai ayah dari anak perempuannya. Namun sejak lelaki itu kini tidak diketahui kabarnya, tidak diketahui keberadaannya dan masih belum juga membalas pesannya sampai detik ini, yang Miura lakukan ialah menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar bayi mereka sambil menyeka air mata yang terus-menerus mengalir tanpa henti.
Dadanya sesak, isi kepalanya terlalu rusak. Sejujurnya yang Miura inginkan saat ini hanyalah Levi. Ia ingin dipeluk Levi. Ingin mengadu kepada Levi. Ingin menumpahkan segala-gala yang ada di dalam benaknya kepada Levi. Tentang segala pikiran jahat dan juga bisikan-bisikan buruk yang sedari tadi berlari-lari di dalam kepalanya. Sungguh, yang Miura inginkan hanyalah Levi. Namun sayangnya, lelaki itu tak kunjung-kunjung menampakkan wujudnya. Namun beruntungnya, di dalam rumah itu ada wujud Levi yang lain – yang saat ini dapat Miura peluk tubuhnya, yang saat ini dapat Miura saksikan wujudnya, dan yang saat ini dapat Miura jadikan sebagai pelipur laranya.
Sosok itu tak lain tak bukan ialah Genevieve Levia Levin atau yang akrab disapa G, bayi perempuan mereka yang memiliki hobi bermain dokter-dokteran. Miura memangku anaknya sambil berlinangan air mata. Lelaki itu membubuhkan banyak kecupan pada wajah anaknya; pada dahi, kedua pipi, serta pucuk kepala yang dihiasi surai ikal berwarna pirang itu sebelum akhirnya kembali meletakkan G di atas kasur. Miura kemudian ikut berbaring tepat di sebelah anaknya. Jari telunjuknya ia selipkan di dalam genggaman jari-jari mungil milik G. Seolah dengan itu, Miura mendapatkan energinya kembali.
Diantara banyaknya hal tentang G yang selalu disyukuri oleh Miura, ada satu hal yang Miura syukuri tentang anaknya disaat-saat seperti ini. Yaitu kemiripan fisik akan wajah dan juga wujud sang anak yang mana sangat mirip seperti kekasihnya, Levi. Yang mana dengan itu, Miura dapat bernafas tenang tanpa harus ada Levi. Yang mana dengan itu, Miura dapat melupakan sedikit bebannya tanpa harus ada Levi. Dan yang mana dengan itu, Miura juga dapat terlelap tanpa harus menunggu kehadiran Levi yang sudah beberapa tahun belakangan ini, kehadiran lelaki itu bagaikan obat bagi Miura. Obat dikala sakit, obat dikala sulit terlelap, dan obat disegala situasi menyakitkan.
Oleh karena itu, Miura sekali lagi membubuhkan kecupan paling hangatnya di atas dahi sang anak. Durasinya cukup lama sebab Miura tak hanya mengantarkan perasaan kasih dan sayang, namun lelaki itu juga mengantarkan doa.
“Terimakasih sudah lahir ke dunia, Icil.” katanya pelan sebelum kembali memposisikan tubuhnya dengan nyaman di samping G.
Malam itu, Miura tertidur di kamar anaknya dengan perasaan yang berantakan. Namun setidaknya, awan putih tebal seperti selimut hangat berhasil mengusir. sebagian awan kelabu jahat yang semula bertahta di atas kepalanya. Miura terlelap disamping G sambil berpegangan tangan tanpa tahu di luar sana, masih ada sosok lainnya yang sedang berusaha untuk tiba di rumah secepat yang bisa dilakukan olehnya.
Dan sekitar sepuluh menit kemudian, barulah sosok itu tiba. Sosok itu memarkirkan mobilnya asal dan langsung berlari seperti orang gila menuju lantai dua, tempat dimana Miura selalu berada.
“Miura? Sayang?”
Levi tak menemukan Miura di kamar mereka, melainkan menemukan lelaki yang dicintainya itu di dalam kamar anak mereka. Berlangkah gontai, Levi menghampiri ranjang kecil itu dengan perasaan bersalah. Lewat sudut pandangnya saat ini, ada dua manusia yang paling ia sayangi di dunia. Sedang terlelap sambil berpagut tangan. Dua-duanya sama-sama bersurai ikal. Dua-duanya sama-sama pemalu. Dan dua-duanya sama-sama ia sayang. Oleh karena itu, sepelan mungkin Levi bergerak untuk berlutut di samping ranjang G – membubuhkan sebuah kecupan hangat selamat tidur di atas dahi sebelum menyelimuti tubuh G dengan selimut beruangnya hingga sebatas dada.
Rupanya, iting besarlah yang Levi pilih untuk ia timang-timang malam hari itu. Betapa mencelosnya hati Levi ketika mendapati kondisi Miura yang terbilang cukup berantakan; wajah yang basah dan kedua mata yang bengkak. Adapun tinta maskara yang luntur dan meninggalkan jejak kehitaman di bawah kantung mata. Melihat itu semua membuat Levi tak henti-hentinya merutuki dirinya sendiri. Pastilah ini sebab ponselnya mati. Pastilah ini sebab dari terlambatnya ia pulang malam hari ini. Sepelan mungkin, Levi berusaha untuk mengangkat kepala dan juga badan Miura. Lelaki itu bermaksud untuk membawa Miura pindah ke kamar mereka. Namun ketika tangan Levi baru saja menyelip di bawah leher Miura, si manis langsung tersadar dan sedikit mendorong Levi, berniat untuk melihat wajah dari seseorang yang berniat untuk menyentuhnya itu.
Dan ketika matanya menangkap apabila sosok itu ialah sosok kekasihnya, tatapan terkejut Miura perlahan-lahan berubah menjadi tatapan sendu. Cairan bening kembali membanjiri pelupuk matanya, garis bibirnya mulai melengkung kebawah dan tangisnya pun pecah kembali.
“Habis darimana…”
Itu bukanlah sebuah pertanyaan dari Miura, melainkan sebuah ungkapan rasa sesak yang saat ini tengah menguasai relung hatinya.
Levi membanjiri wajah Miura dengan kecupan-kecupan ringan sebelum akhirnya mengangkat tubuh berisi itu dan menggendongnya seperti bayi koala. Kedua tangan Miura seperti sudah otomatis diciptakan untuk mengalung di sekitar leher Levi, begitupula dengan kedua kakinya yang juga melakukan hal yang sama pada pinggang Levi. Kepala yang dihiasi surai keriting itu tenggelam pada ceruk leher yang lebih muda sedangkan mulutnya tak henti-henti menyuarakan tangisannya yang terdengar pilu.
“Maaf sayang, maaf.” Levi memiringkan kepalanya untuk menciumi sisi samping wajah Miura. “Aku sayang kamu. Maafin aku. Maafin aku.”
Tubuh Miura ditimang-timang seperti layaknya bayi berusia lima bulan. Ditimang kekanan dan kekiri oleh kekasihnya yang saat ini tak henti-hentinya merapalkan permintaan maaf. Maaf karena sudah terlambat pulang. Maaf karena sudah membuat Miura berpikiran yang aneh-aneh. Maaf karena sudah membuat Miura sedih. Maaf karena sudah membuat Miura menangis.
Satu tangan Levi terulur untuk mengusap kepala Miura, untuk kemudian menautkan kelima jarinya pada helaian ikal milik Miura – sebagaimana yang selalu ia lakukan – yang pada malam itu, helaian ikalnya terasa kusut. Miura masih menangis, masih bergelung pada kesedihan yang tengah melilit ulu hatinya. Dan Levi membiarkannya. Levi membiarkan Miura menangis hingga lega tanpa berniat untuk bertanya mengapa kesayangannya itu menangis sebab lelaki itu sudah tahu. Levi sudah menarik benang merah dari sepenglihatannya selama itu.
“Nggak balas chat,” Miura memukul pelan dada Levi.
“Nggak pulang tepat waktu,” ia memukulnya lagi.
“Nggak ngadu ke aku tentang itu.” dan memukulnya sekali lagi.
Dan Levi membiarkan semua itu terjadi tanpa perlawanan sedikitpun. Tanpa penyanggahan, tanpa bantahan, Levi kembali memeluk tubuh Miura yang bergetar sembari membawa tubuh kesayangannya itu untuk duduk di sofa berwarna merah muda yang letaknya di sudut kamar anak mereka. Yang mana kini membuat Miura menjadi terduduk di atas pangkuan Levi dan itu mempermudah Levi untuk menjatuhkan atensi sepenuhnya kepada keriting kesayangannya.
Levi dengan telaten menghapus jejak-jejak kesedihan di kedua pipi Miura dengan jari-jarinya. Bahkan ia juga turut menyeka cairan kental yang keluar dari hidung Miura tanpa merasa jijik sedikitpun.
“Maaf gak balas chat, maaf pulangnya gak tepat waktu, maaf gak bilang ke sayangku tentang itu.” di setiap permintaan maaf, Levi menyertainya dengan ciuman ringan di sudut mata yang lebih tua.
“Tapi demi apapun yang kamu pikirin itu salah, sayang. Aku gak lagi ereksi. Itu karena model celananya gombrong jadi kayak gitu pas duduk.”
Oh? Rupanya Miura telah salah paham?
Tangis Miura sudah hampir tak terdengar lagi namun nafas lelaki itu masih sesegukan. Miura membiarkan Levi mengurusinya sambil mendengarkan lelaki itu berbicara.
“Pas dapat chat terakhir dari kamu, itu aku udah ngetik. Ngetik panik. Ngetik sambil berpikiran buat langsung pulang. Tapi hapenya keburu mati, sayang.” Levi mendaratkan dahinya pada pipi Miura yang setengah basah, sedangkan kedua tangannya memeluk pinggang Miura dengan erat.
“Aku yang salah, aku yang gak pernah ngecharge hape lama-lama jadinya kayak gini. Maaf, maaf udah bikin sayangku sedih.”
Levi mengangkat kepalanya dan mendapati Miura yang saat ini tengah menatapnya dengan dua matanya yang sendu dan memancarkan air kesedihan. Pipi lelaki itu memerah sedangkan garis bibirnya masih senantiasa melengkung ke bawah. Dan Levi bukanlah manusia kuat. Disuguhkan pemandangan seperti itu tentunya Levi tak bisa untuk tidak menciumi Miura. Terlebih bibir merah lelaki itu yang nampak sedikit bengkak. Mungkin Miura menggigitnya guna meredam tangis. Oleh karena itu, perlahan-lahan Levi mulai memfokuskan atensinya pada kedua belah bibir Miura. Mengikis sedikit demi sedikit jarak yang terbentang diantara mereka hingga pucuk hidung keduanya bersentuhan, Levi masih menunggu. Masih memberikan waktu bagi Miura untuk menghindar.
Namun sepertinya Miura juga menginginkan ciuman itu sebab Miura lah yang lebih dulu memajukan bibirnya untuk bertemu dengan bibir tipis milik Levi. Keduanya pun kompak memejamkan mata dan saling hanyut dalam hasrat dan juga kerinduan satu sama lain. Miura mulai membuka mulutnya untuk menerima lidah Levi, untuk kemudian mengabsen seisi mulutnya dengan benda tak bertulang itu sebelum akhirnya menutupnya lagi sebab Levi kembali memagut dan menghisap bibir bawahnya. Levi mencium bibir Miura seperti tengah melahap bibirnya. Dan ciuman panas itu akhirnya putus ketika Miura merasakan ada sesuatu yang mengeras tepat di bawah pantatnya – dan itu ialah kejantanan Levi.
“Ini baru ereksi. Cuma kamu yang bisa bikin aku ereksi.”
Ucapan tidak sopan itu sialnya mampu membuat kedua pipi Miura merona. Si manis kembali mengalungkan kedua tangannya pada leher Levi usai lelakinya itu menarik pinggulnya agar semakin dekat. Keduanya kembali memagut bibir satu sama lain dan Levi sudah hampir membuka resleting celananya jikalau suara perut Miura tidak lebih dulu menginterupsi.
“Maaf…”
“Gapapa, sayang. Iting makan dulu, ya?” Levi menciumi bibir Miura beberapa kali sebelum merapihkan helaian ikal Miura dan menyelipkannya di belakang telinga.
Setelah itu, Levi mengulurkan tangannya untuk mengambil sekantung makanan yang ia bawa saat pulang tadi. Itu adalah makanan favorite Miura yang antriannya panjang sekali.
“Waaaah!”
“Waaaah!” Levi meniru Miura dan itu membuat keduanya terkekeh.
“Burger kesukaan Mimi!”
“Iya, burger kesukaan Mimi yaa?”
Miura mengangguk, dan Levi senang.
Yang lebih muda mengambil peran yang mengayomi sekarang. Sedangkan yang lebih tua mengambil peran yang dilayani. Miura menunggu Levi membukakan burgernya dengan senyum yang mengembang. Air matanya sudah tak mengalir lagi, namun jejaknya masih ada di sana.
“Nah, sudah.” Levi tersenyum dan mengarahkan burger tersebut ke arah Miura. Sungguh saat itu tak ada apapun lagi yang berputaran di kepalanya selain burger favoritnya yang sedang berada di tangan Levi. Namun tiba-tiba saja, ketika kedua baris giginya menancap pada roti burger, hidung Miura terasa perih kembali. Penglihatannya menjadi buram dan dadanya bergerak naik turun gelisah lagi.
“Loh? Sayang kok nangis lagi?” kedua alis Levi mengkerut kebingungan. “Kenapa? Gak enak burgernya, ya? Panas burgernya, sayang? Sini, buang di tangan aku.”
Miura menggeleng dan Levi semakin kebingungan.
Dengan mulut yang terisi roti, daging, keju, serta beberapa jenis sayuran yang tertumpuk di dalam roti burger tersebut, Miura berkata sambil berlinang air mata; “Pasti Levi pulang telat karena ngantri ini lama sekali… pasti – pasti Levi sekarang capek dan pengen istirahat, tapi Levi malah ngurusin Mimi.” air matanya jatuh dramatis dari pelupuk mata sebelah kiri.
Mendengarnya, hati Levi menjadi semakin lunak. Sorot matanya melembut dan senyumnya mengembang hangat di hadapan Miura.
“Gak capek, sayang.” Levi menyeka air mata Miura untuk yang kesekian kali. “Sayangku suka burger itu. Jadi gak masalah kalau aku harus ngantri berjam-jam juga.” kemudian mengusap-usap punggung kecil Miura dengan telapak tangannya yang lebar.
Levi menyempatkan dirinya untuk menciumi pelipis, ekor mata, dan juga pucuk hidung Miura sebelum berkata lagi;
“Aku sayang kamu. Sayang sekali. Itingku, sayangku, cantikku.”
“Cantik?”
“Iting cantik.”
“Menurut Levi, iting cantik?”
“Cantik. Iting paling cantik.”
Pipinya bersemu merah. Miura tak berbohong apabila perasaan hangat itu kini menyelimuti dadanya. Namun tak sepenuhnya menghilangkan pemikiran jelek yang masih terus menghantuinya. Bisikan-bisikan buruk itu masih ada dan masih mengganggu kepala kecilnya.
“Iting gendut gini masih cantik?”
“Emang iting gendut?” Levi mengangkat kedua tangan Miura, setelah itu mengangkat tubuhnya sebelum mendudukannya lagi di atas pangkuannya.
“Darimananya sih?” kata Levi yang mana membuat Miura menunjuk perut dan juga pahanya.
“Ini gendut. Udah gak langsing kayak dulu lagi. Udah jelek, udah gak cantik.”
Hati Levi bagaikan diremas begitu kencang oleh tangan tak berwujud. Sebenarnya ia hampir saja menangis. Apapun itu, apabila menyangkut Miura, maka Levi akan menjadi orang yang paling lemah sedunia. Sebab Miura adalah kelemahannya. Sebab hidupnya ada di tangan Miura. Oleh sebab itu, usai mengambil burger dari tangan Miura dan meletakkannya di atas nakas, Levi mengambil kedua tangan Miura untuk kemudian ia ciumi berkali-kali.
“If you were me, if you knew what’s inside my head. You will never say something like this in your whole life.”
Mendengarnya, Miura terdiam seribu bahasa. Si manis membiarkan Levi menciumi tangannya lagi dan mendengarkan lelaki itu berkata lagi.
“Buat aku, kamu yang paling cantik. Miura, Miura, Miura. Miura yang paling cantik. No one else but you.” Levi kemudian menangkup wajah Miura dan memiringkan kepalanya untuk menciumi rahang lelaki itu. “I swear between heaven and the earth, if you knew what was in my head about you, you would be afraid.”
Perkataan Levi membuat Miura menarik tubuhnya menjauh. Ketika keduanya berhadapan, Miura baru menyadari sorot mata Levi sudah tak hangat seperti tadi.
It was dark and cold.
“Takut? Kenapa aku takut?”
Tanpa memutus kontaknya dengan mata Miura, Levi mengambil tangan kanan Miura untuk diciumnya kembali.
“Takut karena aku terlalu cinta sama kamu, Miura.”
Ada kelegaan dan juga sebuah perasaan yang tak dapat didefinisikan bagi Miura usai mendengar kata-kata itu. Bagaikan air yang memadamkan api, ciuman hangat Miura pada dahi Levi seakan-akan mengembalikan kesadaran lelaki itu. Miura mencium dahi Levi cukup lama sebelum memeluk kepala Levi di dadanya. Dan Levi, ia hanya manusia yang terlalu mencintai pasangannya. Kedua tangan Levi melingkari pinggang Miura, sedangkan kepalanya mulai bergerak menuju ceruk leher yang lebih tua.
“Ngantuk, sayang?”
Rupanya, Miuranya telah kembali. Mendengarnya, Levi mengangkat kepalanya hanya untuk menatap Miura dengan senyum terhangatnya.
“Nemenin kamu mam dulu,”
“Kenapa beli burgernya satu? Emang Levi nggak lapar?”
Sambil mengulas senyumnya dengan kedua mata yang mulai memberat, Levi menggeleng di depan Miura. Dan itu terlihat lucu di mata Miura. Bagaimana kekasihnya itu kini tampak seperti bayi kucing yang mengantuk. Miura juga bukanlah manusia kuat yang bisa menahan hasrat untuk tidak membanjiri kekasihnya dengan berbagai macam afeksi. Oleh sebab itu, Miura mencium dahinya lagi dan juga bibirnya sebanyak tiga kali.
Kata Levi, “Liat kamu makan, liat kamu senang, aku udah kenyang.”
“Levi kecil juga sudah kenyang?”
Bersamaan dengan habisnya burger oleh Miura, Levi mengulas tawanya dan menempatkan tangan kanannya pada pinggul Miura.
“Di kamar atau di dapur?”
“Dimana aja, aku nurut sama kamu.”
Miura memang paling tahu bagaimana cara menyenangkan hati Levi. Miura membiarkan bongkahan sintalnya ditampari beberapa kali oleh Levi. Lelaki manis itu juga membiarkan Levi membopong tubuhnya menuju dapur di lantai satu. Menyambut malam panjang yang akan mereka lalui berdua hingga salah satu diantaranya menyerah dan meminta untuk dilanjutkan esok pagi.