Kalau boleh jujur, Marka memang sudah berfirasat buruk ketika mendapati pesan dari Echa yang menanyakan jadwal kegiatan bersama teman-temannya minggu depan. Ia sudah berfirasat buruk apabila malam ini pasti tidak akan berjalan dengan lancar.
Dan ternyata hal itu benar adanya.
Marka tak membutuhkan waktu lama untuk membelah kota Jakarta dengan mobil SUV hitam miliknya. Lelaki itu tetap bersikap tenang seperti biasanya, namun tak berdusta jikalau hatinya tengah porak poranda memikirkan kekasihnya yang sedang marah padanya.
Ketika mobil Marka sampai di depan rumah Echa, hal pertama yang lelaki itu dapati adalah suasana rumah yang sunyi dan gelap gulita. Rumah itu terlihat seperti rumah yang tengah ditinggalkan penghuninya pergi ke luar kota. Di saat-saat seperti ini adalah suatu hal percuma apabila ia mencoba untuk menghubungi kekasihnya. Karena Mark sudah terlampau hafal bahwasannya Echa tidak akan mengangkat panggilannya jika keduanya sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu, Marka memutuskan untuk membuka sendiri gerbang itu dan memasukan mobilnya ke halaman rumah Echa.
Pintu itu berkali-kali diketuk namun belum juga menunjukkan tanda-tanda akan kehadiran pemiliknya. Marka jadi berpikir, apakah mungkin Echa telah pergi sesaat setelah membaca pesannya yang mengatakan apabila ia akan menuju kemari? Marka tidak tahu. Ia ragu. Namun, ketika di percobaan yang entah ke berapa kalinya, akhirnya terdengar suara kunci yang di buka dari dalam. Marka menegakkan tubuhnya, ia menyiapkan dirinya untuk menghadapi siapa saja yang berada di belakang pintu itu.
Betapa mencelosnya hati Marka ketika yang ia dapati justru adalah Echa, kekasihnya yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Rambut Echa tertata rapih, pun dengan pakaian yang sedang dikenakannya kini. Namun tidak dengan wajahnya yang terlihat basah dan memerah. Echa menangis dan Marka segera meraih tangan pemuda itu.
“Sayang…”
Echa tidak menjawab. Si manis melepaskan genggaman tangan Marka pada tangannya kemudian berlari kecil menaiki tangga, menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Melihatnya, Marka hanya bisa menghela napas dan mengunci pintu rumah Echa dari dalam. Lelaki itu kemudian turut menaiki tangga untuk menyusul kekasihnya yang sedang merajuk di dalam kamarnya. Namun sayangnya, Echa mengunci pintu kamarnya dari dalam. Echa tidak mengizinkan Marka untuk masuk ke dalam sana.
“Sayang?”
Sayup-sayup, Marka mendengar suara tangisan Echa.
“Sayang, buka pintunya boleh?”
“Boleh buka sebentar aja, sayang? Kita omongin baik-baik.”
Berkali-kali Marka berusaha untuk membujuk rayu Echa agar kekasihnya itu sudi membukakan pintu untuknya, namun hasilnya masih saja nihil. Hingga pada akhirnya, Marka dikejutkan oleh suara tangis Echa yang tiba-tiba terdengar histeris sambil memanggil-manggil namanya.
Echa mengira bahwa kekasihnya telah pergi dari sana.
“Aku disini, cha. Sayang. Aku disini.”
Dan suara tangisan itu kembali memelan seketika. Sepertinya Marka juga menyadari bahwasannya Echa menjadi histeris karena mengira dirinya sudah pergi dari sana. Oleh karena itu, Marka memutuskan untuk mencoba kembali peruntungannya. Lelaki itu mencoba kembali untuk membujuk rayu kekasihnya.
“Cha, sayang, buka ya?”
Masih belum ada jawaban. Namun Marka ingin berusaha lebih keras kali ini.
“Sayangku maunya apa? Coba sini ngomong, coba sini bilang maunya apa. Pacarnya nurut, pacarnya pasti nurutin.”
Dan benar saja, usahanya tidak sia-sia atau karena Marka baru saja menyebutkan kata ajaib sehingga Echa pada akhirnya mau membukakan pintu untuknya.
“Jangan pergi trekking, jangan manjat gunung.”
Nafas Echa tersengal-sengal. Dadanya bergerak naik turun tidak karuan. Marka dapat melihat kondisi wajah Echa saat ini dengan sangat jelas dimana hampir keseluruhan dari wajah boneka itu basah disertai dengan hidung dan pipi yang memerah.
Marka tidak tega. Marka tidak sanggup untuk menyaksikannya lebih lama. Oleh karena itu, ia langsung menarik kekasihnya untuk kemudian ia peluk dan ia dekap; ia banjiri dengan ciuman penuh kasih di pucuk kepala dan juga dahi pemuda manis itu.
“Sst, udah ya. Nanti pusing kepalanya.”
Echa menyimpan dirinya di dalam sana tanpa perlawanan sedikitpun, dengan kedua tangan yang melingkari leher kokoh Mark dan juga posisi wajah yang sepenuhnya tenggelam di ceruk leher kekasihnya itu. Bukannya mereda, tangis Echa justru semakin menjadi-jadi. Bukan, bukan karena Mark sudah tidak mampu lagi untuk menenangkannya – Mark mampu dan akan selalu begitu sampai selamanya. Melainkan, tiba-tiba saja Echa merasakan sesuatu yang bergejolak antara hati dan juga pikirannya.
Hatinya berkata untuk tidak melarang Marka melakukan apapun yang lelaki itu sukai.
Namun otaknya justru berkata sebaliknya. Echa melarang Mark untuk trekking karena ia hanya terlalu mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Ditambah dengan banyaknya kasus mengerikan yang dialami oleh para pendaki gunung, yang mana kasusnya ada banyak sekali tersebar di internet ataupun di koran-koran fisik. Echa menjadi semakin khawatir dibuatnya. Ia tidak ingin Marka mengambil resiko sekecil apapun. Oleh karena itu, dengan kedua mata sembabnya, Echa menatap kekasihnya lamat-lamat.
“Jangan pergi, jangan pergi trekking sama temen-temen kamu.” kepalanya menggeleng berkali-kali sedangkan kedua tangannya meremat jaket Mark erat-erat di bagian bahunya.
Mark pun berusaha untuk menyikapi kekasihnya setenang mungkin. Mark mendekatkan wajahnya untuk mencium pipi tembam Echa dan mengelusnya lembut dengan ibu jari. Lelaki itu juga mengamit salah satu tangan Echa untuk kemudian diciumi buku-buku jarinya. Mark selalu dan akan selalu bisa menenangkannya. Mark selalu dan akan selalu bisa menjadi tempat yang aman baginya.
“Cantik udah selesai bicaranya?”
Echa mengangguk lucu, kedua pipinya menggembung menggemaskan. Marka tak bisa untuk tidak menciumi pipi itu dengan hidung dan juga bibirnya. Menyeka jejak air mata di sana dengan ibu jarinya sebelum menyelipkan helaian rambut ikal Echa ke belakang telinganya. Sehingga ia dapat melihat wajah boneka itu dengan jelas dan dapat mengaguminya diam-diam.
Untuk yang kesekian kalinya.
“Apa sekarang boleh pacarnya yang ngomong?”
Echa menatap Mark lucu dengan kedua tangannya yang mengepal di depan dada. Terlihat seperti anak kelinci yang ketakutan.
“Pacarnya marah?”
“Nggak, pacarnya nggak marah. Cuma mau ngomong serius aja.”
Bibirnya tertekuk ke bawah, kedua matanya berbinar-binar dan siap meneteskan air mata lagi.
“Loh, jangan nangis lagi sayang.” Marka pun langsung memeluk tubuh kekasihnya kemudian melingkarkan kedua tangannya erat-erat di pinggul Echa yang kecil.
“Takut… aku takut omongan seriusnya jelek.”
“Jelek kayak gimana, hm?” Marka bertanya dengan lembut sembari menciumi bahu telanjang Echa. Bahunya bisa terpampang jelas sebab Marka menyingkap kardigan wol yang dikenakan kekasihnya itu kemudian menurunkannya hingga sebatas pinggang.
Bukannya Marka mesum, namun ia butuh mencium aroma tubuh Echa agar emosinya bisa tetap stabil.
“Nanti ngomongnya putus-putus,”
“Emangnya aku pernah ngomong begitu ke kamu?”
Pelan, Echa menggeleng. Ia juga memeluk tubuh Mark tak kalah erat.
“Terus kenapa bisa kepikiran gitu?”
Air matanya kembali menggenang di pelupuk, Echa mengambil napasnya dengan sedikit sulit. “Soalnya aku takut kamu merasa aku ngekang kamu dengan ngelarang kamu untuk ngelakuin apa yang kamu suka.”
Marka diam dan menunggu kekasihnya menyelesaikan ucapannya.
“Pa – padahal aku sama sekali gak bermaksud kayak gitu. Aku cuma gak mau kamu kenapa-napa. Aku cuma gak mau kamu sakit dan luka.”
Mendengarnya, Marka tersenyum dan melepaskan pelukan keduanya hanya untuk mencumbu bibir kekasihnya. Bibir mungil yang memerah itu mungkin sebentar lagi akan semakin memerah dan bengkak sehabis dilumati. Tak hanya itu, Marka juga membuka mulut kecil Echa dengan lidahnya, memasukkan lidahnya ke dalam mulut Echa untuk kemudian melilit lidah yang lain dan menghisapnya.
Marka hanya menagih janji Echa yang Echa katakan di ruang obrolan keduanya, yang katanya hendak menciumnya ketika ia sampai di sini. Marka hanya rindu dan tidak bermaksud lain. Sehingga dengan itu, selesainya ia melepas rindu, Marka menyudahi kegiatan panas itu dan menyambungnya dengan menciumi sudut bibir dan juga hidung mungil kekasihnya, sebelum membawa tubuh mungil namun berisi itu menuju kasur.
Marka mendudukan Echa di atas kedua pahanya. Saat ini, keduanya berhadap-hadapan. Echa mengamati kekasihnya yang saat ini tengah menciumi jari-jarinya dalam diam. Kemudian juga membiarkan Marka menjamah bagian tubuhnya yang lain, Marka memberikan usapan di pahanya sebelum lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya.
“Dengar,” katanya lembut.
“Pacarnya cuma mau bilang kalau cantik harus bisa mengerti. Manusia itu punya dua hal di dalam hidupnya untuk bisa terus hidup. Pertama, kebutuhan. Kedua, keinginan.”
Echa mendengarkan kekasihnya dengan atensi penuh. Sementara Marka, ia hanya sedang mencoba untuk menjadi seorang kekasih yang dewasa dan membuktikan cintanya yang begitu besar pada Echa.
“Keinginan. Sama halnya kayak pelepas stres. Manusia butuh memenuhi keinginannya untuk bisa lepas dari rasa stres itu. Dan cara aku untuk melepaskan rasa stres itu dengan mendaki gunung. Kalau sayangnya Marka dengan apa?”
“… Banyak,”
“Apa aja coba?”
“Pasang kuku? Gambar-gambar? Makan?”
Marka tersenyum mendengarnya.
“Terus…”
“Terus?”
“Bobo sambil dipuk-puk pantatnya sama pacarnya.”
Dan senyum di wajah Marka terulas semakin mengembang. Lelaki tampan itu lagi-lagi menciumi bibir Echa dan juga menciumi tangan kekasihnya yang manis.
“Dan kalau semisalnya cantik gak bisa ngelakuin itu semua? Apa yang bakal cantik rasain?”
“Nangis.”
“Nangis?”
“Uum! Nangis pelan soalnya gak bisa pasang kuku dan gambar-gambar. Tapi nangis kenceng soalnya gak bisa mamam sama dipuk-puk pacarnya.”
Mark terkekeh.
Situasi serius dan menegangkan yang tadi ia ciptakan rasa-rasanya sudah tak ada lagi, tergantikan oleh suasana lucu menggemaskan yang diciptakan oleh kekasih mungilnya di pelukan.
“Stres juga nggak?”
“Uum…”
Mark mengusak gemas rambut ikal Echa sebelum melanjutkan ucapannya, “Kalau kebutuhan, sama halnya kayak makan. Manusia butuh itu untuk bertahan hidup, untuk tetap bisa hidup. Kalau kebutuhan aku selain makan itu kamu.” Marka mencubit pucuk hidung Echa yang terlihat menggemaskan di matanya.
“Kebutuhan itu kamu. Aku butuh kamu buat bisa hidup juga.”
Mendengarnya, Echa langsung menghamburkan dirinya ke dalam peluk Marka agar kekasihnya itu tidak melihatnya yang hampir saja menitihkan air mata lagi.
“Sayang pacarnya,”
“Pacarnya juga sayang, sayang sekali.” Marka membenarkan kardigan wol milik Echa yang semula ia turunkan hingga ke pinggul itu menjadi ke tempatnya semula. Marka membiarkan wajahnya diciumi Echa hingga wajahnya juga terasa basah sebab liur dan juga air mata kekasihnya itu, namun Marka tidak protes sama sekali.
Ketika Echa menyudahi kegiatan menciuminya, barulah Marka kembali bersuara;
“Jadi sampai sini ngerti ya, sayang?”
Echa mengangguk-angguk.
“Kamu sama mendaki gunung itu dua hal yang berbeda. Aku bisa aja hidup kalau gak mendaki gunung, tapi aku beneran gak bisa hidup kalau tanpa kamu.”
Marka memposisikan dagunya tepat di atas dada Echa, lelaki tampan itu mendongak, yang mana kini membuat kedua lelaki itu saling bertatap-tatapan dengan jarak yang sangat dekat.
“Aku gak akan minta izin dari kamu sesering itu. Karena selain mendaki gunung, ada banyak hal yang lebih aku prioritasin daripada itu. Salah satunya kamu. Nemenin kamu, pacaran sama kamu, semuanya sama kamu lebih penting daripada itu. Jadi kalau kamu sekarang melarang, aku pasti gak akan pergi. Aku nurut kamu. Tapi kedepannya kalau aku minta izin buat naik, tolong dikasih izinnya ya, cantik?”