Mas Boy!

iVE.
4 min readJan 15, 2024

--

“Temen aja Mik.”

Jawaban singkat dari Mark berhasil membungkam Mika dan entah mengapa berhasil juga menenangkan hati pemuda itu. Omong-omong, Mika akhirnya memutuskan untuk ikut dengan sang koko — sebab tiba-tiba saja hasrat bermain bolanya sudah tidak ada lagi padahal beberapa saat yang lalu sangatlah menggebu-gebu.

Ketika mobil hitam itu sampai di depan pagar rumah Echa, Mika yang duduk di sebelah kursi pengemudi pun tertawa keras-keras. Penyebabnya adalah spanduk keluarga Rendi Baskoro yang terpampang besar-besaran di depan pagar rumahnya, yang mana di sana ada wajah Echa yang terpajang dengan luar biasa besar dan jelas — tersenyum kaku bak pas foto di buku rapor.

Sungguh, Mika tertawa hingga hampir menangis rasanya.

Selagi Mika sibuk mengabadikan spanduk itu dengan ponsel miliknya, Mark pun turun dari mobil dan memencet bel. Sekali, dua kali, hingga yang ketiga kalinya barulah muncul seorang pria dewasa berkumis tebal di tengah dan lancip di kedua ujungnya. Pria itu adalah pria yang sama dengan yang ada di spanduk.

Pria itu adalah Rendi Baskoro yang tak lain tak bukan adalah ayah dari Echa.

“Boy?”

“Maaf, om?”

“Kamu Boy, ya?”

Meskipun tengah dilanda kebingungan, namun Mark tetap mencium tangan ayahnya Echa yang saat ini berdiri tepat di hadapannya.

Apa barusan yang beliau katakan? Boy? Siapa itu Boy? Apa jangan-jangan Boy adalah mantannya Echa? Kalau iya, mengapa ayahnya bisa memanggilnya dengan sebutan itu? Apakah wajah Boy mirip dengan wajahnya? Apakah mungkin ayahnya hanya salah mengenali?

“Hahaha, bingung ya kamu dek. Maaf, maaf. Saya bercanda.”

Pak Rendi tertawa renyah sembari menepuk-nepuk pelan lengan Mark. Sementara Mark hanya tertawa kikuk sambil menangguk-anggukan kepala canggung. Sedangkan si adik, oh, Mika hanya berdiam diri di mobil tak ingin bertemu dengan si Pak Kumis sebab menurutnya sosok itu menyeramkan.

“Tapi saya manggil kamu Boy karena kamu mirip Onky Alexander. Dia yang meranin Boy di film Catatan si Boy itu loh.”

“Oalah, mas Boy.”

“Iya, kamu mas Boy!”

Pak Rendi kemudian merangkul Mark dengan wajahnya yang gembira sembari mempersilahkan anak itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

“Mobil saya, om?”

“Gapapa ditinggal di sana aja. Sendirian, kan?”

Ketika Mark ingin memberitahu pak Rendi apabila di dalam mobil itu ada adiknya, sosok pak RT di sampingnya sudah berteriak terlebih dahulu kepada seseorang yang berdiri di depan pintu rumah;

“Nah itu si biang kerok! Kamu kesini cari si biang kerok itu, kan?”

“Biang kerok?”

“Iya itu si preman kecil. Kata Raja, kamu diutus dosen buat ajak dia belajar bareng kan?”

Eh?

Gimana, gimana?

Maksudnya Raja sudah lebih dulu bilang ke pak Rendi kalau nanti ada seseorang yang datang menjemput anaknya dengan alibi belajar bersama, kah?

Sungguh, Mark terlihat seperti orang linglung sedari tadi. Namun ketika netranya menangkap sosok Echa yang saat ini sudah berdiri tepat di hadapannya, dengan setelan pakaian yang terlihat manis sekali, senyumnya pun mengembang dan kesadarannya mengambil alih.

Cantik banget, ya?

“Hai,”

“Hai.”

“Nah, ini si mas Boy udah sampe. Gih, Echa belajar yang bener.”

“Mas Boy?” tanya Echa kebingungan. Satu alisnya terangkat naik ketika matanya melihat ke arah tangan ayahnya yang melingkar sok akrab di belakang bahu Mark.

“Temenmu mirip mas Boy. Apih seneng ngeliatnya, soalnya itu idolanya apih waktu masih sekolah dulu. Berasa nostalgia, deh.”

Mark yang berada di rangkulan apihnya cuma bisa tertawa kikuk sementara Echa memutar kedua bola matanya jengah.

Apihnya ini, ada-ada saja!

“Apasih, apih! Orang namanya Mark.”

“Oh, ya? Bule ya kamu?”

“Ada blasteran Kanada, om.”

“Wah, keren! Kok mau sih kamu temenan sama si Ecil? Tapi dia juga bule sih, bulepotan HAHAHAHAHAHA”

Biasa deh, bercandaan bapak-bapak.

Kemudian apihnya Echa berlalu begitu saja masuk ke dalam rumahnya sembari mengibas-ngibaskan koran hariannya untuk mengusir hawa gerah. Meninggalkan dua anak lelaki itu yang kini tengah saling melempar tawa di teras rumah.

“Kapan sampainya?”

“Baru aja sih.”

“Apih gak ngomong yang macem-macem kan sama kamu?”

Mark terkekeh, kemudian memasang ekspresi seriusnya seolah-olah ia sedang berpikir keras.

“Ngomong banyak.”

“Ih! Seriusan?!”

Kemudian Mark tertawa setelah melihat wajah Echa yang memerah seperti tomat. Kedua matanya membulat seperti boneka beruang yang ada di toko-toko.

“Ih, Mark mah.” Echa merajuk. Nada bicaranya terdengar manja dan centil sekali.

Si manis menatap lelaki tampan di hadapannya dengan bibir yang mengerucut lucu dan Mark bukanlah manusia yang sekuat itu.

Echa membiarkan pucuk hidungnya dicubit pelan oleh Mark, kemudian mendengarkan calon suaminya itu berbicara dengan kedua lesung pipi yang menghias indah;

“Jangan marah. Ayo berangkat?”

Dan Echa tak memerlukan waktu yang lama untuk mengangguk dan juga menyetujui ajakan lelaki itu.

“Ayo!”

--

--

No responses yet