My heart calls your name, even in my dreams.

iVE.
4 min readJul 6, 2024

--

Dunia adalah panggung sandiwara dan manusia bermain peran di dalamnya. Sadarkah kita? Sadarkah kita bahwa sedari lahir, kita semua ini sudah dibiasakan untuk berpura-pura? Manusia bisa menangis padahal tidak sedang berduka dan dapat tersenyum padahal tidak sedang baik-baik saja. Manusia antagonis. Manusia protagonis. Manusia bermuka dua. Semua hal yang bersangkutan dengan apa yang dinamakan panggung sandiwara juga dimiliki oleh dunia dan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Membuat saya menyimpulkan satu hal bahwasannya kita ini tidak jauh berbeda daripada boneka — yang dipermainkan kehidupan sesuka hati tanpa perduli dengan perasaan yang kita punya. Rasa sedih, rasa marah, rasa hancur, dan rasa kecewa yang seringkali kita rasakan sudah terbiasa diacuhkan begitu saja, kan? Sehingga diri seringkali dipaksa untuk baik-baik saja. Sehingga diri seringkali dipaksa untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal, ada begitu banyak luka yang membusuk di dalam dada. Namun, kita semua sudah terbiasa untuk menyembunyikan itu semua. Karena di akhir kata, hanya diri sendiri yang kita punya.

Sebagaimana Levi dan hidupnya. Sebagaimana Levi dan segala bentuk perasaannya. Sebagaimana Levi dan luka-lukanya yang dibiarkan basah dan membusuk di dalam dada. Dunia adalah panggung sandiwara dan panggung sandiwara adalah dunia. Levi tak memiliki sedikitpun bantahan untuk yang satu itu. Sebab ia mempercayai paham itu sudah sedari lama. Sudah bertahun-tahun lamanya. Tidak kurang setelah kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah dan tidak lebih setelah separuh jiwanya pergi untuk selama-lamanya. Pergi sejauh-jauhnya ke tempat dimana ia bisa meninggalkan Levi seorang diri di dunia. Membuat lelaki itu akhirnya beranggapan bahwasannya, hidup sudah tak akan bisa lebih baik lagi di dunia. Tanpa cintanya. Tanpa teman hidupnya. Tidak dengan harta kekayaan yang ia punya. Tidak juga dengan segala-galanya yang berada di bawah telapak kakinya. Dan hal itu lambat laun menjadi luka yang membekas di benak, juga menjadi mimpi buruk yang mengerak. Mengerak dan sangat sulit untuk dihilangkan dari alam bawah sadarnya. Maka tak heran apabila lelaki itu seringkali menangis dalam tidurnya.

“Lev…”

Di pertengahan malam, di saat-saat itulah sebagian besar manusia akan bersikap sebagaimana sosok aslinya. Karena otak tak lagi dapat diperintahkan untuk melakukan apa saja yang tertulis di dalam skenario buatan. Karena pada saat-saat itulah, otak juga turut beristirahat. Meskipun ada bagian otak yang tetap aktif selama kita tertidur, namun alam bawah sadar tetap lebih banyak mengambil peran.

“Levi…”

Dalam gelapnya dunia yang sedang menaungi dirinya, Levi menyaksikan sebuah cahaya yang sangat terang merambat lurus dari langit dan turun ke bumi. Cahaya itu berpendar cukup lama dan baru kali itu Levi menyaksikan sebuah fenomena alam yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Karena cahayanya yang teramat terang dan membuat silau itulah, Levi bahkan harus menghalau pandangannya dengan tangan apabila ia masih ingin terus menyaksikan benda apa yang sebenarnya berada di balik cahaya langit itu.

Hingga pada akhirnya, cahaya yang sangat terang itupun redup secara perlahan-lahan dengan sendirinya. Menyisakan seorang makhluk yang memiliki postur tubuh seperti manusia. Sepertinya, seperti Levi yang memiliki satu kepala, dua tangan, dan juga dua kaki.

Ketika makhluk itu mulai berjalan menuju ke arahnya, Levi masih belum dapat melihat wajah milik sang tuan langit. Namun ketika sesuatu yang tak kasat mata terasa mulai menyentuh punggungnya dan membelai lembut kepalanya, kedua tungkai kaki Levi seketika mendapatkan kekuatan untuk berjalan. Entah darimana datangnya. Dan telapak kaki yang penuh luka itu meninggalkan jejak di setiap pijakannya. Setiap tetes darah yang meninggalkan bercak pada tanah berasal dari segala luka yang lelaki itu alami di alam atas sadarnya. Dan langkah itu terus berlanjut hingga semakin mengikis jarak yang terbentang diantara keduanya.

Dari sudut pandangnya saat ini, barulah Levi dapat melihat wajah milik sang tuan langit itu.

“Miura?”

“Levi,”

Dalam peluk hangat Miura, Levi akhirnya mampu untuk membuka kedua matanya. Dan hal pertama yang Levi lihat adalah cintanya. Cintanya yang turun dari surga demi menemaninya kembali untuk hidup bersama-sama di dunia.

“Kamu disini?”

Satu tetes air mata berhasil lolos dari pelupuk mata kanan Miura ketika dirinya berucap, “Aku disini terus. Aku nggak kemana-mana.”

Padahal kalau boleh berterus terang, sampai saat ini Miura masih belum dapat memproses semua hal yang sedang terjadi. Tentang Levi yang menangis dalam tidurnya dan Levi yang berangsur-angsur menjadi tenang ketika dirinya memberikan sebuah dekapan dan sentuhan hangat pada tubuhnya — jujur saja Miura masih tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Namun kala matanya jatuh pada iris biru Levi yang sedang dibanjiri air mata itu, sesuatu di dalam kepalanya berputar drastis dan membuatnya dilanda pening seketika. Itu bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Miura sering merasakan sakit kepala yang luar biasa kala netranya menangkap rupa Levi dan merekam bayang lelaki itu di dalam ingatannya. Bahkan sejak di kali pertama keduanya bertemu.

Melihat hal itu, Levi pun langsung bangkit dan memegangi kedua lengan Miura dengan wajahnya yang panik.

“Miura?”

Sambil masih memegangi kepalanya yang terasa berat akibat otaknya usai memutarkan potongan-potongan momen hidupnya dengan seseorang berwajah mirip dengan wajah lelaki yang sedang berada di hadapannya saat ini, Miura berkata;

“I saw you inside. And you’re always there. Tell me, have we met before, Lev?”

[]

--

--

No responses yet