Bricco bukanlah tempat pertama mereka berlabuh. Bukan juga destinasi pertama yang mereka tuju dan saksi bisu yang berperan kala itu. Berperan sebagai pihak ketiga yang menyaksikan sepasang manusia hendak menyatu, menyatu ke dalam suatu perasaan yang bersumber dari dalam kalbu. Bukan, bukan Bricco lah tempat itu. Melainkan kediaman sang model sendirilah yang menjadi tempat Levi dan juga Miura berlabuh di kala itu. Di kala langit sudah tak membiru dan awan mulai kelabu.
“Hei,” sapa Levi canggung sesaat Miura baru saja duduk di kursi penumpang sebelahnya.
Dan Miura hanya bersikap sebagaimana Miura. Lelaki cantik itu hanya membalas sapaan Levi dengan lirikan matanya sebelum melipat kedua tangannya di depan dada.
Dingin.
Tak tersentuh.
Dan acuh tak acuh.
Begitulah isi kepala Levi saat itu, saat dirinya menyaksikan Miuraichi Akanen secara dekat dan langsung. Miuraichi Akanen yang saat ini sedang duduk di mobilnya sambil bersedekap dada, tatanan rambut dan juga riasan wajahnya masih ada dan itulah yang membuat sosoknya semakin terlihat sulit disentuh. Karena kedua hal itu membuat sosoknya semakin terlihat cantik dan indah. Kalau belum pernah bertemu sebelumnya, mungkin Levi akan mengira sosok lelaki di sebelahnya itu adalah boneka. Boneka porselen yang seringkali ia lihat di dalam etalase kaca. Dan pembawaannya, mulai dari cara Miura duduk dan tak merespon sapaannya membuat Levi semakin merasakan bahwa dinding es itu memang ada. Berdiri kokoh dan begitu runcing sebab Levi merasa sedikit tertusuk durinya.
Namun baginya itu tidak masalah.
Sebab kesudian Miura untuk bertemu dengannya dan duduk di dalam mobilnya saat ini sudah cukup membuat Levi merasa sanggup untuk menaklukan sifat dingin lelaki itu kedepannya. Terbukti dengan senyumnya yang tak luntur usai dihadiahi perputaran bola mata sinis dari manusia di sebelahnya.
“Berhenti lihatin aku kayak gitu atau aku turun disini.”
Alih-alih merasa takut usai diancam, sang rapper justru tersenyum. Dan di detik yang bersamaan, Miura merasakan ada yang janggal di dalam tubuhnya. Mungkin jantungnya sedikit malfungsi sebab benda itu berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Pipinya juga terasa hangat dan tiba-tiba ia salah tingkah. Sontak, Miura membuang muka dan memilih untuk menghadap ke arah jendela dibandingkan melihat sosok L sang rapper dunia yang saat ini sedang duduk di sebelahnya.
“Mau aku dinginin lagi?” tanya Levi sembari mengarahkan sorot AC mobilnya ke arah Miura.
Si cantik mengangguk tanpa suara. Entah mengapa tiba-tiba saja tubuhnya merasa gerah dan mobil Levi seakan-akan melaju semakin lama. Dan disaat-saat tenang seperti inilah, Levi mengira-ngira. Sekiranya apabila ia mengambil tangan Miura yang sedang menganggur di atas pahanya itu, apakah Miura akan marah? Karena sungguh, Levi sangat ingin menggenggam dan menciumi jari jemarinya.
Namun sialnya, ketika tangannya sudah mulai bergerak untuk meraih tangan Miura, tiba-tiba saja ponsel Miura berbunyi. Sepertinya ada pesan masuk sebab Levi dapat melihat Miura yang kini tampak seperti orang yang tengah membaca sesuatu.
“Kuso.”
Yang barusan mengumpat dalam bahasa Jepang itu adalah Miura. Dan hal itu berhasil membuat Levi menoleh dan menatapnya bingung.
“Kenapa? There’s something wrong, cantik?”
Dibandingkan kesal, sebenarnya Miura lebih merasa kecewa dan juga sedih. Wajah cantiknya terlihat kuyu dan sorot matanya juga sendu. Sejujurnya Miura tidak ingin Levi tahu apabila kliennya baru saja membatalkan kontrak kerjasama dengannya dengan alasan yang tidak masuk akal.
Menggunakan kepribadiannya yang antisosial sebagai alasan pembatalan? Sungguh luar biasa menjengkelkan. Belum pernah ada yang menolaknya sebelum ini mengingat ia adalah puncak bintang. Apalagi seingat Miura, ketika ia menghadiri pertemuan dengan brand tersebut minggu lalu, dirinya juga telah berlaku sopan dan ramah. Miura tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda perlakuan dingin dan tidak bersahabatnya kepada mereka seperti apa yang dikatakan Sarah di pesan teks itu. Dan yang lebih-lebih membuatnya semakin gundah adalah, brand tersebut telah memilih Aneko Azari dan membanding-bandingkan kepribadiannya dengan rekan modelnya itu.
Mereka mengatakan kepribadian Azari jauh lebih menyenangkan daripada kepribadiannya yang dingin seperti batu.
Mendapati dirinya diungguli rivalnya sendiri dalam hal yang tak bisa ia benahi dengan mudah membuat Miura terundung pilu. Apalagi ketika netranya tak sengaja jatuh pada sosok Levi yang saat ini tengah menyetir sambil sesekali menatapnya khawatir. Tiba-tiba saja muncul suatu pemikiran bahwasannya suatu hari nanti Aneko Azari juga akan merebut Levi darinya.
Tentu saja hal itu bisa saja terjadi.
Sebab siapa juga yang lebih memilih awan kelabu dibandingkan dengan kupu-kupu?
Tentu tidak ada.
“Kenapa, sih? Miura habis baca apa tiba-tiba jadi murung gitu?” tanya Levi lembut yang mana berhasil mengembalikan kesadarannya.
Bicara soal kesadaran ya? Tiba-tiba saja Miura setuju apabila dirinya sedang tidak sadar beberapa saat lalu. Meracau tidak karuan hingga memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Mengapa juga ia mencemaskan Levi dan juga Azari? Memangnya Levi siapanya? Kekasihnya? Memikirkannya saja membuat Miura berdecak kesal dan bersungut-sungut di dalam hati apabila ia tidak akan pernah bersedia untuk merajut hubungan dengan rapper itu sampai kapanpun.
“Nganter aku pulang bukan caramu buat deketin aku, kan?”
“Kalau iya memangnya kenapa?”
Miura menatap Levi dengan sinis. Kedua tangannya lagi-lagi bersedekap di depan dada. Sementara Levi, lelaki itu tetap terlihat tenang seperti biasa.
“Aku udah bilang, kan? Aku nggak tertarik buat pacaran sama cowok yang lebih muda.”
“Gak nerima alasan penolakan yang gak masuk akal.”
“Maksud kamu?”
Nada bicara Miura mulai tinggi. Namun Levi tetap meresponnya dengan tenang. Bahkan lelaki itu baru saja menghalau tubuh Miura dengan satu tangannya, menjaga Miura agar tetap duduk dengan nyaman di kursinya ketika mobilnya melintasi sebuah tikungan tajam.
“Kalau alasanmu nolak aku karena menurutmu aku playboy, aku bisa perbaiki itu Miura. Tapi kalau alasanmu nolak aku karena aku lebih muda dari kamu, bagiku itu gak masuk akal. Karena apa? Karena aku gak bisa minta ke Tuhan buat lahir lebih dulu sebelum kamu.”
Terkutuklah Levi dengan mulut cerdiknya yang berhasil membungkam Miura dengan seribu bahasa.
“Apa? Mau nolak aku dengan alasan apalagi, cantik?”
Dan ketika pertanyaan itu tercetus, mobil Levi telah sampai di pekarangan rumah Miura. Levi sengaja masih mengunci pintu mobilnya sampai sekiranya percakapannya dengan Miura malam itu berhasil menemukan titik terang. Titik terang dari keberlanjutan hubungan keduanya sekaligus titik terang yang mengharuskan ia pergi ke utara atau selatan.
Utara yang berarti terus melaju dan selatan yang berarti sebaliknya.
Dan pertanyaan Levi mengingatkan Miura akan hal yang baru saja menimpanya tadi. Ia baru saja ditolak karena kepribadiannya yang dibilang buruk dan ia tidak ingin mengalaminya lagi untuk yang kedua kali. Sehingga dengan itu, dengan hati yang meragu, Miura menjawab pelan sekali.
“Jangan suka aku, Lev. Jangan pilih aku. Sifat aku nggak baik.”
“Kamu beneran Miura?”
Bagai setitik nila diatas susu sebelanga, ucapan Levi barusan menghancurkan suasana kelabu yang tengah Miura rasakan seketika.
“Ih, apa sih kamu?”
“Aku nanya. Ini beneran Miura? Soalnya Miura yang aku kenal tuh jutek dan hobinya marah ma – “
Miura membungkam mulut Levi dengan satu tangannya yang mana membuat sang rapper tak lagi dapat berbicara. Di balik tangan Miura, Levi diam-diam mengurai senyumnya. Ini pertama kalinya mereka bersentuhan secara langsung dan Levi menyukainya.
“Sst, diem!” kata Miura sambil berusaha membuka pintu mobil dengan tangan satunya.
“Levi bukain, ih!”
“Gak mau.” kata Levi sesaat setelah Miura menurunkan tangannya.
“Kok nggak mau?”
“Kamu tadi udah pegang-pegang aku. Sekarang gantian aku yang megang kamu, baru kamu boleh turun.”
“Ih! Aku teriak, ya?”
“Teriak aja, gak ada yang dengar juga.”
Miura menatap Levi dengan bibir yang mengerucut. Lelaki di hadapannya ini ternyata memang benar-benar berniat buruk dan berniat untuk melecehkannya. Seharusnya ia tidak boleh percaya dengan sosok playboy kelas kakap seperti Levi. Seharusnya juga ia lebih berhati-hati menjaga dirinya dengan menolak tawaran Levi untuk pulang bersama.
Kalau sudah begini, lantas ia bisa apa? Tidak ada yang bisa Miura lakukan selain melakukan perlawanan atau menuruti keinginan lelaki muda di hadapannya itu. Dan tampaknya untuk melakukan opsi pertama, Miura tidak yakin dapat mengungguli sang rapper mengingat tubuhnya yang sangat kecil sementara tubuh Levi sangat besar. Maka dengan sangat berat hati, tercetuslah pemikiran baginya untuk mengambil opsi kedua. Namun dengan catatan apabila malam ini adalah malam terakhir bagi Levi melihat wajahnya. Sebab setelah ini, Miura telah bersumpah untuk tidak lagi menemui Levi. Ia tidak akan sudi lagi untuk bertemu dengan sosok lelaki yang hanya menginginkan tubuhnya itu.
Dan oleh sebab itu, Miura mulai menanggalkan kancing pakaiannya satu persatu di hadapan Levi. Dari sudut pandangnya saat ini, Miura dapat melihat jakun milik Levi yang bergerak naik turun di balik kulit lehernya itu. Bentuknya sangat tegas dan… seksi. Miura tidak ingin berbohong kali ini.
Sementara dari sudut pandang Levi, lelaki itu dapat melihat tubuh bagian atas Miura yang kini terpampang sangat jelas di hadapannya. Dada itu, puting itu, aerola itu serta perut yang sedikit buncit itu sungguh membuat iblis di dalam diri Levi nyaris bangkit. Sejujurnya bukan inilah yang Levi inginkan. Lelaki itu hanya ingin memeluk Miura malam ini. Namun entah apa yang telah Miura hadapi sebelumnya sehingga lelaki cantik itu berbuat sedemikian jauh membuat Levi semakin ingin berada di sisinya.
Membuat Levi semakin ingin untuk menjaga Miura.
Dan hal yang terjadi berikutnya justru mengejutkan Miura sebab Levi kembali mengancingkan pakaiannya alih-alih menelanjangi dirinya. Wajah Levi kini berada tepat di hadapannya dan apabila Miura memajukan sedikit saja wajahnya, maka hidungnya akan menyentuh pucuk hidung Levi.
“Kenapa? Kamu nggak mau yang atas?”
“Ngomong apa sih kamu?”
Jarak yang terbentang diantara keduanya sungguh sangat tipis dan bahkan Miura dapat mencium aroma mint yang berasal dari hembusan napas lelaki di hadapannya itu dengan jelas.
“Bukannya tadi kamu bilang pengen megang aku?”
“Iya, tapi gak sejauh ini Miura. Aku belum pantas buat dapat ini semua.”
Detik selanjutnya, Miura membiarkan Levi untuk memeluknya. Dan pada saat yang bersamaan, dirinya juga baru menyadari apabila sabuk pengamannya telah terlepas dan ia sepenuhnya berada di dalam dekapan Levi.
“Aku cuma mau ini, aku cuma mau peluk kamu. Dan sejujurnya aku gak tau apa yang bikin kamu kesal dan sedih barusan. Tapi aku harap semoga itu bukan aku.”
Sungguh Miura tidak mengerti mengapa tubuhnya mendadak tidak berfungsi. Sebab seharusnya ia mendorong Levi untuk menjauh, namun tubuhnya malah menerima perlakuan manis dari lelaki itu. Bahkan Miura tampak menyamankan posisinya di dalam kukungan tubuh Levi dan memejamkan matanya ketika aroma khas Levi mulai memasuki indra penciumnya.
“I like you, Miura. Really, really like you. Jangan suruh aku buat menjauh apalagi pergi dari kamu. Aku mohon.”
Miura yang semula tengah terpejam pun membuka kedua matanya kembali hanya untuk memastikan kesungguhan di raut wajah Levi. Dan ia mendapatinya. Itu terpancar dari sorot mata yang lebih muda dan Miura tidak berbohong kalau itu berhasil menyentuh hatinya.
Detik selanjutnya, Miura tampak menghela napasnya dan menjitak pelan kepala Levi.
“Anak kecil.”
“Biarin.”
Rupanya keduanya tampak larut dengan suasana hangat yang sedang mengelilinginya. Dari jarak sedekat ini, Miura mampu melihat dengan jelas fitur-fitur wajah Levi yang ia akui memang membuatnya terlihat tampan. Sangat, sangat tampan. Dan kalau boleh jujur, Levi sungguh sangat ingin mengecup pucuk hidung Miura yang mungil dan terlihat menggemaskan itu. Namun ketika Levi mulai memajukan wajahnya sedikit demi sedikit ke arah Miura, Miura menarik tubuhnya dari pelukan Levi dan meminta Levi untuk membukakan kunci mobil sebagaimana perjanjian di awal.
“Tunggu dulu!” kata Levi sambil menahan pergelangan tangan Miura sesaat lelaki cantik itu hendak meninggalkan mobilnya.
“Apa?” kali ini Miura menyahutinya dengan lembut dan itu berhasil membuat Levi mengurai senyumnya.
“Nanti kalau sudah bersih-bersih dan gak sibuk, balas pesanku ya?”
Miura hanya menanggapinya dengan seutas senyum tipis yang terpatri di wajahnya yang terlihat lelah. Kemudian tak lama setelah itu tepatnya setelah memastikan Miura sudah masuk ke dalam rumahnya, barulah Levi menjalankan mobilnya dan meninggalkan pekarangan rumah Miura.
Bagi Levi, malam itu cukup berkesan baik untuknya. Tetapi tidak tahu bagi Miura. Dan kalau boleh jujur, ia mengkhawatirkan apabila Miura memang benar-benar memintanya untuk pergi. Ia khawatir Miura memang benar-benar serius dengan ucapannya tadi.
Namun segala pemikiran yang mengusik ketentraman jiwa dan raganya itupun sirna seketika berkat satu denting suara ponselnya.
Dan Levi tak bisa menahan senyumnya sebab ia tahu apabila setelah ini, jalan yang akan ia tempuh adalah jalan menuju utara.
Dan bukan jalan menuju selatan.