Orbits.

iVE.
6 min readMay 4, 2024

--

Perihal rasa,

Rasa tertanam di dalam diri siapapun manusia. Rasa suka, rasa duka, rasa benci, rasa cemburu, rasa bahagia – semua rasa senantiasa menyertai perjalanan hidup setiap mereka yang merupakan keturunan Adam dan Hawa. Dimulai dari saat menapakkan kaki ke dunia untuk yang pertama kali hingga saat dimana manusia harus kembali ke pangkuan-Nya – rasa bagaikan belenggu tak kasat mata yang tak dapat dipisahkan dari raga dan juga jiwa. Pelengkap kehidupan manusia yang jenisnya terdapat hingga berjuta-juta.

Masih perihal rasa, rasa lah yang membuat manusia dapat hidup seperti manusia pada semestinya. Yang akan merasa marah ketika dipicu titik sensitifnya, yang akan merasa bahagia ketika didorong titik humornya, dan yang akan merasa sedih ketika disentuh titik emosionalnya. Dan masih perihal rasa, rasa juga lah yang mencetuskan arah bagi umat manusia. Arah kemana kita ingin menuju dan arah kemana kita ingin berlabuh. Sama seperti halnya yang sedang dialami Levi saat ini. Rasa penasaran, rasa gelisah, dan rasa yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata – yang akhir-akhir ini terus menghantui hati dan pikirannya telah mencetuskan arah baginya untuk dituju.

Dan sama seperti dua tahun belakangan, Jepang masih menjadi ‘arah’ yang lelaki itu putuskan sebagai tempat untuk berlabuh.

Kuil Shimogamo-jinja, Kyoto

Kuil Shinto Shimogamo-jinja adalah salah satu kuil tertua dan yang paling dihormati di Jepang. Kuil ini terletak diantara pertemuan sungai Takano dan Kamo yang dikelilingi oleh Tadasu no Mori, hutan luas yang berhasil diselamatkan dari kerusakan yang terjadi pada saat modernisasi Kyoto beberapa puluh tahun silam. Dan diantara pepohonan rindang Tadasu no Mori yang mengelilingi kuil persembahan bagi sang dewa panen itu, terdapat satu pohon besar yang menjadi tujuan utama sang rapper mendatangi tempat tersebut.

Yang mana pada detik ini, pohon itu sudah berada di hadapannya dan menjadi satu-satunya alasan dibalik senyumnya yang mengembang pilu.

“Masih ada.” gumamnya.

Sesuatu di hadapannya itu berhasil mengundang haru untuk masuk ke dalam lubuk hati. Tiba-tiba saja, Levi merasakan rindu – atau selama ini ia memang selalu merindu? Merindu pada sang pemilik inisial nama yang terukir tepat di sebelah inisial nama miliknya. Apapun itu, yang jelas saat ini perasaan Levi tengah haru membiru. Bersamaan dengan mendaratnya ujung jemari pada permukaan batang pohon, senyum tipis yang hampa, serta setetes air mata yang jatuh begitu saja dari pelupuk mata sebelah kiri – turun lah salju pertama di negeri matahari terbit pada tahun itu.

Awal baru, harapan baru.

Dinginnya butiran salju yang mendarat di atas kepalanya berhasil menyihir Levi untuk memejamkan mata. Sensasi yang tak familiar itu membuat tubuhnya bereaksi dengan sedikit anomali. Bergetar sejenak namun tak lama setelahnya kembali normal seperti sedia kala. Sebelum kedua matanya kembali terbuka, Levi sudah lebih dulu menyelesaikan segala doa dan harapannya yang ia panjatkan untuk di masa-masa yang akan datang.

Semoga, semoga.

“Sumimasen, watashi no buresuretto o mimashita ka?”

“Permisi, apakah anda melihat gelang saya?”

Mendengar suara itu membuat tubuh Levi mematung. Untuk pertama kalinya semenjak dua tahun terakhir, baru kali ini ada penduduk asli yang menegurnya kala ia menyambangi pohon besar di kuil itu. Memakai kembali maskernya yang sempat ia lepas, Levi membalikkan tubuhnya dan berniat untuk meminta maaf.

Namun sayangnya, sedetik setelah netranya jatuh pada sesosok lelaki cantik yang tengah berdiri dengan raut wajah kebingungan di hadapannya, tubuhnya mendadak malfungsi dan seolah-olah lupa akan bagaimana caranya bergerak.

Levi seperti terhipnotis.

Terhipnotis pada iris secokelat daun kering yang gugur pada musim semi.

“Ō? Dōyara gaikoku hito no kata no yōdesu ne?”

“Oh? Sepertinya kamu warga asing?”

Sosok lelaki manis di hadapan Levi itu mengenakan baju hakama berwarna hitam dan abu. Levi berpikir apabila lelaki yang tengah berdiri di hadapannya itu mungkin adalah satu dari jemaat kuil yang memutuskan untuk menegurnya karena telah berperilaku aneh; memandangi pohon terlalu lama, misalnya. Dan dari sudut pandang Levi saat ini dapat terlihat jelas bagaimana wujud dari sang tuan Jepang – surainya berbentuk ikal dan berwarna cokelat semanis madu. Sementara wajahnya, wah, wajahnya seperti patung lilin yang dipahat dengan sangat sempurna. Mulus tanpa celah dan rapih tanpa ada kekurangan sedikitpun. Garis wajahnya terlihat lembut namun juga tegas disaat yang bersamaan – yang mana dikomposisikan dengan sepasang mata sayu, hidung mungil yang cukup mancung, dan juga dua belah bibir yang akan mengerucut lucu tiap kali lelaki itu berbicara.

Soal tubuhnya….

Entah lah. Baru kali ini Levi sampai kehabisan kata-kata untuk menggambarkan perwujudan dari sesosok manusia.

“Maaf. Apa kamu melihat gelang saya?”

Sang tuan Jepang kembali berbicara untuk yang ketiga kalinya. Dan kali ini, ia berbicara dalam bahasa yang Levi pahami.

“Bentuknya setengah hati. Saya yakin saya menghilangkannya di tempat ini.” sambungnya lagi.

Melihat sang tuan asing yang tak kunjung merespon pertanyaannya membuat si tuan Jepang tanpa sadar mengerucutkan bibirnya. Akhirnya, sosok itu memutuskan untuk mencari gelangnya sendiri.

Bagaimana sosok semampai itu mulai mencari-cari gelangnya dan bagaimana sosok itu sesekali akan merengut sedih lantaran gelangnya tak kunjung ketemu jua, semuanya tak luput dari atensi sang rapper. Levi terlihat betah memperhatikan sosok itu. Namun entah mengapa, ia seperti tak berniat untuk menghiraukan kehadirannya. Alhasil, sang rapper hanya diam di tempatnya seperti patung yang membeku seusai terus menerus dihujani salju.

Puncaknya ialah sampai sang tuan Jepang mulai berhenti mencari dan terlihat akan menangis sebentar lagi. Barulah Levi merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

“Ini?” katanya yang membuat si manis di seberang sana menoleh.

Levi mendapati kedua mata lelaki itu memerah, begitupula dengan pucuk hidung dan kedua pipinya yang turut berwarna sama.

“Watashi no buresuretto!”

“Gelangku!”

Levi membiarkan lelaki itu mengambil sesuatu dari tangannya tanpa berniat untuk menahannya sedikitpun. Sang rapper membiarkan bagaimana gelang berhiaskan gantungan setengah hati itu berpindah tangan; dari yang semula berada padanya, kini telah berpindah dan berada di genggaman sosok tuan misterius di hadapannya. Dan sekali lagi, tubuh Levi seakan-akan mati rasa. Dunia rasanya juga turut berhenti beputar ketika sosok di hadapannya itu mulai tersenyum. Bagai bunga sakura yang jatuh di atas hamparan salju, senyum lelaki di hadapannya itu terlihat begitu indah. Sungguh, Levi belum pernah melihat manusia yang memiliki senyum sebagus itu sebelumnya. Bagus, sangat bagus, dan terlampau bagus sampai-sampai ia tidak menyadari apabila telah hadir sosok manusia lainnya yang berdiri di dekat pintu masuk kuil.

“Miura-san! Koko ni modotte. Taichō ga waruku narunode, amari chōjikan soto ni inaide kudasai.”

“Tuan Miura! Kembali kesini. Mohon jangan berada di luar terlalu lama karena akan membuat anda merasa tidak enak badan.”

“Hai! Wa – “

“Miura?” Levi memotong ucapan lelaki manis itu.

Yang punya nama sontak menjeda ucapannya dan kini tengah memandangi sosok lelaki berpakaian hitam seluruhnya itu dengan kedua mata yang membulat lucu. Bagi Miura, yang boleh memanggilnya dengan nama Miura hanyalah orang-orang terdekatnya saja.

Sehingga dengan itu, Miura berucap kepada Levi;

“Ansarai.” Miura menatap sosok Levi tepat di matanya; pada satu titik yang membuat ia menyadari bahwasannya sosok lelaki misterius yang berdiri di bawah pohon itu merupakan warga negara asing. Levi memiliki iris mata berwarna cokelat muda yang begitu mencuri perhatian.

“Terimakasih sudah menemukan gelang saya.” dan kemudian, Miura membungkuk satu kali di hadapan Levi sebelum akhirnya berjalan menjauh meninggalkan Levi yang masih setia berdiri di bawah pohon itu.

Sambil berjalan menuju kuil, Miura meyakinkan dirinya bahwa ia tidak lagi meninggalkan barangnya di tempat itu. Gelangnya sudah berada di genggaman dan payungnya juga berada di tangan yang sama.

Namun entah mengapa, rasa-rasanya ia telah meninggalkan sesuatu di sana. Sesuatu yang rasa-rasanya terjatuh tepat di bawah kaki sang tuan misterius yang tanpa Miura ketahui, sosok itu terus memandanginya tanpa henti.

[]

--

--

No responses yet