Sedari awal sejak lembaran pertama diarium itu dibuka, sejatinya cinta Levi kepada Miura tidak pernah bertepuk sebelah tangan. Mencinta dan memuja di dalam hubungan ini bukan hanya Levi yang melakukan. Namun Miura juga sama, Miura juga sedemikian.
Hanya saja, memang Miura lah yang lebih banyak mendapatkan perlakuan manis dari Levi sebagaimana mestinya. Namun bukan berarti sang rapper tidak pernah mendapatkan timbal balik yang serupa dari kekasih modelnya. Cinta mereka sama besarnya. Namun berbeda saja cara penyampaiannya. Buktinya saja, sekarang Miura sedang melayani kekasihnya dengan manis; membantu Levi memakai kedua sepatunya sembari bersimpuh di depan kaki bak seorang istri rumahan yang sangat patuh terhadap suami.
Bersimpuh tepat di bawah kaki Levi dengan gaun tidurnya yang baru diganti dan juga perut besar yang menonjol tak malu-malu membuat Miura terlihat sangat menggemaskan di mata Levi. Sungguh ia terlihat sangat halus, mudah rentan, dan juga memerah.
“Duduknya di atas, Miura sayang. Nanti sakit lagi kakinya.”
“Nggak kok, kan nggak lama-lama. Cuma mau pakaikan Levi sepatu aja.”
Ketika Miura sedang berkutat dengan tali sepatunya, Levi mencondongkan dirinya ke depan untuk mencuri sebuah dua buah kecupan pada pipi tembam Miura, yang mana hanya direspon kekehan centil oleh empunya.
“Kamu kayak kitten.”
Tawa Miura pecah, kali ini disertai rona kemerahan yang berpendar di pipinya.
“Kitten nggak ada yang hamil kayak aku, tau!”
Miura mengubah posisinya menjadi berlutut di hadapan Levi. Kedua tangannya ia lingkarkan pada leher sang kekasih yang saat ini tengah sibuk menciumi leher dan juga bahunya yang sebelah kiri. Setahun lebih menjalin hubungan dengan sang rapper membuat Miura hafal akan satu hal mengenai seorang Leviathan Levin yang tak lain tak bukan ialah sosok ayah dari bayi yang tengah ia kandung itu bisa menghabiskan waktu berlama-lama jika sudah bergumul dengan lehernya. Padahal yang dilakukan Levi hanya menghirup, mengecup, menghisap, dan yah, sesekali menggigit. Tidak jauh-jauh dari keempat hal itu saja. Namun entah mengapa Levi selalu menghabiskan berbanyak-banyak waktu di sana. Seolah ceruk leher Miura adalah tempat ternyaman baginya.
“Nanti dengkulnya sakit kalau berlutut lama-lama.” kata Levi sembari mengangkat tubuh Miura dan mendudukan tubuh Miura di atas pangkuannya.
Posisi duduk Miura saat ini menyamping di atas pangkuan Levi sehingga ia bisa melihat jelas wajah Levi yang rupanya sudah mulai ditumbuhi bulu-bulu kumis tipis. Ia harus segera menjadwalkan hari untuk mencukur kumis Levi nanti. Miura menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Levi dan memposisikan kedua tangannya di atas dadanya sendiri. Bersikap layaknya seorang anak manis dengan tujuan membuat Levi gemas terhadapnya.
Dan benar saja, Levi yang tak mampu menahan hasratnya untuk menciumi kekasih manisnya pun langsung melancarkan aksinya yaitu menciumi seluruh bagian wajah Miura tanpa terkecuali dengan ciuman-ciuman kecil.
“Levi, cium…”
“Loh, daritadi kan lagi aku ciumin?”
Miura menggeleng pelan dan Levi berpura-pura tidak mengerti akan permintaannya barusan.
“Nggak, bukan cium yang itu.”
“Terus cium yang mana?”
“Cium yang itu… Levi jangan godain aku,”
Dan tak lama setelah Levi tertawa, keduanya berakhir saling memagut bibir satu sama lain dan tenggelam dalam ciuman panas di sore menjelang malam hari itu. Menerima, menerima, dan menerima. Miura hanya bisa pasrah dengan apa saja yang Levi lakukan terhadap mulutnya. Menghisap bibirnya, memainkan lidahnya dan melilit, mengabsen seluruh gigi dan langit-langit mulutnya, meludahi dan secara tidak langsung menitah untuk menelan air liurnya, semuanya Miura lakukan dengan baik sebab ia menerimanya. Menerima segala bentuk perlakuan Levi terhadap dirinya yang membuatnya merasa senang. Membuatnya merasa disayang.
“Mmh . . Lev – “
Miura mendongakkan kepala ketika ciuman Levi mulai turun menjamah kulit lehernya. Levi mengecup dan bahkan menjilati tulang selangkanya yang mana Miura pikir, dengan itu Levi akan melanjutkan untuk menyetubuhinya alih-alih pergi bersama teman-temannya. Namun sayangnya, kali ini dewi Fortuna sepertinya sedang tidak berpihak pada Miura. Sebab tak lama setelah menciumi puting susu Miura yang menonjol keras dari balik gaun tidurnya, Levi malah menyudahi kegiatan panas tersebut dan beralih mendekap tubuhnya kini.
Mungkin Levi memang benar-benar berniat untuk pergi bersama teman-temannya hari ini.
“Sayang, sayangku.” Levi membubuhkan beberapa buah kecupan ringan pada pelipis Miura. “Lagi ada yang pengen kamu beli gak? Tas? Sepatu? Atau sesuatu yang lain?”
Miura di dalam dekapannya mengangguk lemah lembut. Tubuhnya yang serasa membengkak efek kehamilan itu seakan-akan tenggelam di dalam pelukan Levi, sehingga Miura merasa dirinya menjadi kecil kini.
“Mau piyama couple yang kemarin…” rengeknya manja, yang mana lagi-lagi berhasil membuat Levi gemas.
“Couple yang mana, sayang? Yang semalam kita liat di website?”
Miura mengangguk dan Levi menghadiahinya dengan sebuah kecupan di pucuk hidung.
“Aku transfer aja, ya? Nanti Miura sayang yang pilih warna dan motifnya.”
“Huum,”
Perut besarnya diberikan usapan-usapan lembut yang membuat tubuhnya pun turut merasa rileks. Kini Miura mulai merasakan kantuk.
“Aku gak usah pergi aja ya, sayang? Kita bobo aja mau?”
Pertanyaan Levi sukses membuat Miura membulatkan kedua matanya dan sontak menggeleng.
“Nggak, jangan. Aku gapapa kok ditinggal kamu pergi sebentar. Kan, kamu juga udah izin aku dari lama…” katanya sembari memainkan jari-jari tangannya di depan dada.
Ada sesuatu pada diri Miura yang bisa membuat lelaki itu otomatis menjadi centil apabila dihadapkan dengan kekasihnya yang rapper itu. Entahlah, mungkin ini yang dinamakan kekuatan cinta.
“Bener gapapa?”
“Bener gapapa.”
Levi menangkup wajah seindah boneka itu dengan kedua tangannya sebelum lagi-lagi membanjiri wajah kecil itu dengan ciuman. Levi juga menciumi punggung tangan dan juga buku-buku jari tangan Miura sebelum menyisir helaian ikal keemasan milik sang kekasih dengan tangannya.
“Kira-kira kapan ya kita bisa kayak orang lain? Do what couples do kayak jalan-jalan, kulineran, nyobain tempat-tempat baru, nonton NBA bareng dan gak ninggalin kamu sendirian kayak gini,” Levi menjeda ucapannya. “Kira-kira kapan ya kita bisa bebas dan gak sembunyi-sembunyi kayak gini?”
“Lev… ini kan sudah sering kita bahas.”
“Iya, aku tau. Tapi tiba-tiba aku kepikiran aja.”
Dan dengan itu, Miura menangkup wajah Levi dengan kedua tangannya yang lentik karena rajin dirawat dan rutin dipoles.
“You know i love you, right?”
Suasana berubah menjadi tegang seketika. Awan-awan cinta yang mengelilingi mereka, yang tadinya berwarna merah muda kini berganti menjadi kelabu dan mungkin sedikit menghitam.
Mendengarnya, Levi mengangguk.
Dan oleh karena itu, Miura kembali melanjutkan ucapannya.
“You’re really on top now. Kamu benar-benar lagi bersinar sekarang, Lev. Dan aku gak mau kalau kehadiran aku dan bayi ini jus – “
“Bayi kita. Bayi kita, Miura. Bukan bayi ini.”
Miura menangkap sebersit amarah yang terlukis di wajah Levi. Itulah sebabnya Miura mencoba untuk menghilangkan perasaan negatif tersebut lewat sebuah ciuman hangat nan lembut di bibir yang lebih muda. Kali ini Miura yang mendominasi dan Levi lah yang menjadi pasif. Si manis memejamkan kedua matanya sembari melumati bibir bawah dan atas milik Levi secara bergantian. Levi merespon ciuman itu dengan lumatan-lumatan tipis yang mengumpan; mengumpan agar Miura terus melumati kedua belah bibirnya, lagi dan lagi. Sedang mulutnya sibuk mencumbu, kesepuluh jari tangannya yang lentik membelai wajah tampan Levi. Menarikan guratan-guratan abstrak yang semakin lama semakin turun dan terpatri di leher milik Levi bagian samping.
“You’re right. Our baby, Lev.”
Miura mengambil tangan Levi kemudian menempatkannya di atas perutnya.
“Bayi kita yang mana adalah anak aku dan juga anak kamu pastinya juga gak mau ngancurin karir daddynya sendiri, Lev.”
“Ngancurin?”
“Iya, ngancurin karir kamu kalau semisalnya hubungan kita dan bayi kita tereskpos ke publik.”
Kalau boleh berterus terang, seiring dengan berjalannya waktu semuanya mulai terdengar tidak masuk akal bagi Levi. Segala perkataan yang baru saja Miura sampaikan baginya sudah tidak masuk akal lagi.
Memangnya apa yang salah jika seorang idola memiliki kekasih? Bukankah kita semua sama-sama manusia yang memiliki hak untuk hidup layaknya manusiawi di muka bumi? Jatuh cinta dan kemudian memiliki keluarga sendiri. Tidak kah itu adalah suatu hal yang bukan tindak kriminal sama sekali? Lantas, mengapa harus dihindari? Katakan, coba katakanlah mengapa hal tersebut harus dijauhi.
Inilah, inilah permasalahannya.
Dan sayangnya, Miura adalah masalah itu sendiri. Masalah yang sampai kapanpun tidak ingin Levi benahi.
“Aku keluar sebentar, Sean udah nunggu.”
Tubuh Miura diangkat dan kemudian didudukkan begitu saja di atas sofa, bagai sebuah boneka yang sudah tidak ingin dimainkan lagi oleh pemiliknya. Tanpa basa-basi, Levi pun langsung beranjak dari sana dengan benaknya yang diam-diam dipenuhi tanda tanya. Membuat dirinya tanpa sadar mendiami Miura dan membuat suasana menjadi tegang.
Dan Miura menyadari hal itu. Miura langsung menyadari apabila ada yang salah dengan kekasihnya. Mungkin memang ada yang salah dengan ucapannya barusan. Sebab Levi tak lagi bersikap manis seperti biasa dan lelaki itu tiba-tiba saja bersikap seperti seorang pria culun yang tak punya nyali barang menatap matanya sekarang.
Miura tidak menyukai ini.
Ia menginginkan Levinya kembali.
“Lev – “
Baru beberapa langkah, tangisan yang terdengar familiar di telinganya itu berhasil menghentikan pijakannya. Levi mematung di tempat dan menghela napasnya untuk yang kesekian kali. Saat ini benak dan hatinya sedang sibuk bertarung. Keduanya saling bersahut-sahutan tentang tindakan apa yang sebaiknya dilakukan sang rapper sekarang ini. Pertama, langsung pergi saja karena ia harus melampiaskan amarahnya di luar atau kedua, memutar tubuh dan menenangkan Miura – dengan catatan emosinya sendiri juga belum stabil dan butuh dilepaskan juga.
Otak lelaki itu berkata untuk memilih opsi pertama namun hatinya berkata lain. Ia tidak boleh seperti ini. Ibaratnya sebuah kapal, ia adalah nahkoda yang harus tetap bisa membawa kapalnya di tengah-tengah ombak samudra yang mengguncang. Dan tepat ketika Miura mengira bahwa Levi akan meninggalkannya seorang diri di dalam kediaman megah ini, ketika Miura mengira bahwa Levi akan lebih memilih teman-temannya dibandingkan ia kali ini, disitulah Levi berbalik badan dan berjalan menghampirinya.
Miura mendongak untuk menatap Levinya dengan wajahnya yang basah dan pipi yang merona hebat. Si manis menggenggam tangan kanan Levi yang memegangi dagunya, untuk kemudian menatap kekasihnya itu dengan raut wajahnya yang sedih, yang mana juga disertai dengan beberapa kali gelengan kepala.
Miura langsung memeluk lelakinya erat-erat ketika Levi merengkuh pinggangnya. Tangisnya kembali pecah di ceruk leher Levi yang dihiasi beberapa layer kalung rantai itu. Kalau ditanya, lebih suka Levi yang pendiam atau yang berisik seperti biasa, mungkin pertanyaan tersebut akan masuk ke dalam list pertanyaan retorik versi Miura yang tidak perlu ia jawab. Sebab baru dicueki sedikit saja oleh Levi ia sudah menangis seperti sekarang.
“Maaf, maafin aku.”
“Levi…”
Miuranya menangis sembari terus merapalkan namanya berulang-ulang kali. Membuat Levi menjadi berpikiran bahwa apa yang baru saja ia lakukan – yang mana telah berniat untuk meninggalkan Miura sendiri di rumah karena ia terlalu takut untuk tidak bisa mengendalikan emosinya di depan Miura – sungguh membuat kekasihnya sangat sedih hingga menangis tersedu-sedu seperti sekarang ini. Padahal yang sebenarnya terjadi dan tanpa sepengetahuan Levi, Miura menangis karena si manis sadar apabila ucapannya beberapa saat yang lalu mungkin telah melukai perasaan Levi – yang mana dampak yang ditimbulkan berhasil membuat Levi langsung menjadi murung dan juga sedih. Ditambah perlakuan Levi kepadanya yang juga langsung berubah menjadi dingin, itu semakin membuat hatinya terasa remuk dan nyeri.
Oleh sebab itu, Miura tak mampu menahan tangisnya lagi.
Sambil memegangi gaun tidurnya di bagian perut, si manis menumpahkan segala kesedihannya sambil berharap lelakinya masih sudi untuk datang kembali. Dan untungnya, Miura memiliki kekasih yang sangat mencintainya dari ujung kepala hingga kaki. Yang mana kini Levi telah kembali padanya dan sekarang tengah memeluknya erat-erat.
“Levi…”
“Disini, disini sayang.”
Dalam peluknya, Miura menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya pada leher Levi.
“Jangan pergi… sama aku aja disini.”
Levi mengangguk dan menciumi samping wajah Miura sebelum mengangkat tubuh kekasihnya yang sedang berbadan dua itu menuju kamar mereka.
Memangnya ada alasan lain bagi Levi untuk menolak?
Tentu tidak ada.