Sejauh ini, senyum itu masih terpantau ada.
Terpatri dan menetap cukup lama, tak kunjung pudar juga dari wajah Mika – menemani langkah pemuda itu dari gedung fakultasnya hingga ke gedung fakultas yang lain. Membuat siapapun yang melihatnya menaruh rasa penasaran. Karena demi Tuhan, apa gerangan yang berhasil membuat sang pangeran berhati es itu tersenyum dengan begitu sumringah?
Entah lah, tidak ada yang tahu dan pada akhirnya membiarkannya berlalu.
Mika kembali memasang wajah datarnya ketika ia akan tiba di tempat Echa. Dan Echa masih ada di sana, di tempat yang sama ketika ia meninggalkannya untuk mengambil kaus salin. Dengan pakaian yang ternoda jus semangka hasil perbuatan Mika yang dilakukan pemuda itu dengan sengaja, Echa menunggu seorang diri di belakang gedung fakultasnya dengan wajah yang tertekuk masam.
Diam-diam, Mika tersenyum lagi.
“Nih.”
Mika memberikan Echa sepotong kaus bersih berwarna hitam. Meskipun kembar, satu informasi yang baru Echa dapatkan detik ini yaitu Mark dan Mika ternyata memiliki aroma khas yang berbeda. Jika. penggambaran aroma khas Mika seperti playboy ibukota, maka penggambaran aroma khas Mark seperti pria mapan yang sudah siap berkeluarga.
Berkeluarga dengannya, tentu saja.
Echa menerima kaus itu dengan bibir yang mengerucut. Andai saja yang di hadapannya kini adalah Mark, pastinya ia akan menerima kaus itu dan memakainya dengan wajah yang sangat berbahagia.
Baik Mika maupun Echa saat ini tengah beradu tatap. Yang satunya tampak kebingungan – rupanya Mika tak berhasil menangkap kode yang dilayangkan oleh Echa. Yang pada akhirnya membuat Echa kembali mengomel; “Ya lu balik badan! Gimana gue mau ganti baju kalo lo masih melototin gue kayak gitu?”
Mika tak paham. Padahal mereka sama-sama lelaki. Namun pemuda itu memilih untuk menurut saja daripada harus mendengarkan Echa mengomel lagi.
“Ada tisu basah sama kering di dalam plastik itu.” kata Mika sambil menunjuk plastik belanjaan yang ia letakkan di dekat Echa.
Echa pun menggunakan kedua hal itu untuk membersihkan tubuhnya yang lengket terlebih dulu. Setelah itu, barulah ia memakai kaus milik Mika yang ternyata memiliki model yang sama dengan kaus milik Mark bulan lalu.
“Udah?”
“Dah.” jawab Echa ketus sembari melipat pakaian miliknya.
Dan yang selanjutnya terjadi adalah Mika yang berjalan mendekat ke arahnya, merunduk, dan kemudian menyejajarkan wajah mereka.
Tiba-tiba saja hawa sekitar terasa panas bagi Echa.
Sial.
Apa yang sebenarnya tengah dilakukan oleh starboy-starboyan ini?
Berniat untuk menggodanya, huh?
Sori. Tidak mempan!
“Ap – “
“Mik?”
Suara itu.
Kedua mata Echa refleks membulat ketika mendengar suara itu. Itu suara Mark. Itu suara suaminya, Mark! Oh, tidak! Ini tidak boleh terjadi. Mark tidak boleh memergoki kalau ternyata dialah yang sedang berduaan dengan saudara kembarnya.
Echa tidak ingin Mark salah paham.
Berdiri dengan kaku, Echa langsung berubah menjadi manusia yang diam seribu bahasa. Pokoknya apapun yang terjadi, ia tidak boleh menoleh dan membiarkan Mark melihat wajahnya. Sedikitpun. Pokoknya Mark tidak boleh melihat wajahnya sedikitpun.
“Kok koko disini?”
“Nganterin bekal kamu, disuruh mami.”
Echa mendengar suara derap sepatu yang semakin mendekat. Kedua pupilnya melebar. Keringat dingin pun menetes. Sial, sial, sial. Kalau begini caranya, Mark akan menyadarinya. Persetan dengan ide gilanya. Apapun akan Echa lakukan agar Mark tidak melihat wajahnya.
Dan – hup!
Satu gerakan tak terduga dari Echa berhasil membuat si kembar terkejut. Echa memeluk Mika erat-erat. Wajah manisnya pun disembunyikan pada dada Mika. Mika pun terlihat seperti orang linglung untuk beberapa detik. Namun kedua tangannya entah bagaimana reflek memegang pinggul Echa.
“Oh? Maaf ganggu.” Mark mundur beberapa langkah kemudian tampak celingak-celinguk. Rupanya ia sedang mencari tempat untuk meletakkan bekal Mika.
“Koko taruh sini ya, Mik? Silahkan dilanjut ciumannya.”
Sumpah mati, Echa ingin berteriak sekencang-kencangnya. Sungguh, demi dewa dan dewi ibunya Raja – ini pasti karena angel Mark yang berada di belakangnya disaat Mika sedang merunduk memperhatikan wajahnya.
Rasa-rasanya Echa ingin menggigit Mika sekarang juga. Tapi yang dapat dilakukannya saat ini hanyalah mengepalkan kedua tangannya, berusaha meredam emosi setidaknya sampai Mark benar-benar pergi dari sana.
Lain halnya dengan Mika, pemuda tampan itu justru diam-diam tersenyum. Mika diam-diam menikmati kedekatannya dengan Echa saat ini. Tubuh Echa yang lebih pendek dibandingkan dirinya membuat Mika berhadap-hadapan langsung dengan helaian rambut ikal anak itu. Sepelan dan selembut mungkin Mika bergerak, mendekatkan wajahnya dengan pucuk kepala Echa – menghirup wangi dari sampo yang Echa kenakan, yang selama ini ternyata beraroma seperti buah-buahan.
Echa pun yang masih berada di dalam pelukan Mika hanya diam. Tiba-tiba saja pikirannya mendadak kosong ketika hidungnya mencium aroma khas Mika yang sesungguhnya. Aroma khas yang bukan berasal dari parfum lelaki itu, tetapi aroma khas yang berasal dari dalam tubuhnya.
Sialnya, baunya Mika ini mampu menenangkannya. Mampu membuat emosinya reda begitu saja.
Dan ketika Echa menyadari bahwasannya Mark sudah. sepenuhnya tidak ada, pemuda manis itu mendorong tubuh Mika menjauh dan langsung memunguti barang-barangnya dengan cepat seperti seorang pencuri yang sedang dikejar-kejar warga.
“Mau kemana?”
“Gak perlu tau!”
Echa langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu, meninggalkan Mika seorang diri disertai dengan pikirannya yang berkelit rumit. Namun pemuda itu tersenyum. Mika memegangi dadanya yang berdegup dua kali lebih cepat daripada biasanya.
Sheesh.
Akhirnya deg-degan lagi setelah sekian lama ya, Mik?