Mark itu sedari kecil pendiam.
Ia cenderung pasif dan tidak pintar bicara seperti kembarannya, Mika.
Seperti halnya saat ini, ketika suara isakkan tangis itu sampai ke gendang telinganya. Mark hanya langsung menyudahi kegiatan buka-membuka jendela perpustakaan yang semula ia geluti itu dalam diam. Tak berniat menyahut, pun tak berniat merespons hal itu dengan bersuara. Omong-omong, jendela perpustakaan yang tadi berusaha ia buka itu tingginya nyaris sama dengan atap ruangan. Hal itulah yang membuat Mark memanjat meja baca demi memasukkan udara segar ke dalam tempat sumpek yang gelap gulita itu.
Ketika Mark telah sampai di hadapan Echa, pemuda manis itu langsung menghambur ke dalam pelukannya. Memeluk dan nyaris menerjang Mark hingga empunya nyaris terhuyung ke belakang. Rupanya Echa menangis karena ia takut kegelapan. Echa pikir, hanya dirinyalah yang terkunci di dalam perpustakaan ini. Jadi begitu Mark muncul di hadapannya, ia senang sekaligus lega sekali.
Sebab ia tidak sendiri.
Dan mungkin, sebab ia terkurung dengan Mark di sini.
“Aku takut,”
Echa menyebut dirinya sendiri dengan kata ‘aku’ dan hal itu menimbulkan rona kemerahan yang terlukis samar di kedua pipi Mark. Tubuh Mark yang dipeluk Echa berdiri tegap dan kaku, dengan kedua tangan yang menjuntai ke bawah yang mana terlihat bingung dan kelu. Mark tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jiwa dan kesadarannya seakan-akan mengawan kala sepasang lengan kurus itu melingkari pinggangnya.
Echa total menghamburkan dirinya ke dalam peluk Mark, membenamkan wajah cantiknya tepat di bawah wajah Mark dimana hidungnya kini bersejajar dengan tulang selangka Mark. Dan dari jarak sedekat ini, Echa dapat mencium aroma khas tubuh Mark yang menguar seperti aroma pohon willow yang sejuk. Seperti aroma petrikor di pagi hari dan aroma-aroma khas lainnya yang menenangkan hati. Mungkin seperti perpaduan aroma dari kacang Tonka dan juga Vanilla yang jejaknya menapak halus di dalam hidung.
Sumpah mati, Echa jatuh hati.
Jatuh hati untuk yang kesekian kali terhadap sosok ini, terhadap pemilik raga ini, dan terhadap pemilik dekapan hangat ini. Mark memang tidak memeluknya seerat ia memeluk lelaki itu. Namun, kedua tangan Mark yang melingkar ringan di belakang punggungnya sudah cukup mengantarkan keamanan yang mampu meredakan tangis Echa.
“Panas, nggak?”
Mark bertanya dan Echa meresponsnya dengan gelengan kepala.
“Kedinginan?”
Echa menggeleng lagi. Kali ini sejumput rambutnya ikut bergerak lucu mengikuti pergerakan kepalanya dan Mark diam-diam mengulas senyum.
“Mau pipis?”
Sejujurnya Mark sudah menyiapkan botol plastik bekas di ujung sana sebelum menemui Echa. Ia khawatir Echa menangis karena mungkin pemuda itu ingin buang air kecil namun tidak bisa pergi ke toilet. Dan ternyata, sepertinya dugaannya itu salah sebab Echa menangis bukan karena ingin buang air kecil. Namun karena Echa mengira bahwa tidak ada Mark di sini. Bahwa hanya Echa lah yang terkunci di dalam ruangan ini. Itu sebabnya ia menangis dan langsung memeluk Mark ketika Mark muncul di hadapannya.
“Nggak,”
Ada jeda sejenak usai Echa berbicara. Rupanya Mark diam-diam tengah menikmati anomali yang terjadi di dalam tubuhnya dan tepatnya terpusat di jantung. Mark merasakan segelenyar perasaan aneh yang membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Mark berdeham canggung sebelum merundukkan kepalanya kembali guna menatap Echa.
“Laper?”
Echa diam tak menjawab, namun kepalanya mendongak menjadi menatap Mark dari bawah.
Sudut pandangnya saat ini membuat Echa mampu memandang wajah Mark dengan sangat-sangat jelas. Tahi lalat yang ada di pipi Mark sudah ia notis sejak lama, namun kumis tipis dan juga beberapa titik milia yang ada di wajah Mark barulah ia sadari sekarang.
Ternyata, wajah Mark jauh lebih mungil dari yang biasanya ia lihat. Bagaimana bisa wajah sekecil itu menampung dua mata, satu hidung, dan satu bibir yang tercipta dengan nyaris sempurna?
Mata Mark bulat seperti boba.
Hidungnya kecil dan bibirnya tipis.
Echa ingin menciumnya.
Ia ingin mencium Mark.
Dan katakanlah ia pecundang sebab yang ia lakukan hanya mengangguk, menjawab pertanyaan Mark dengan wajahnya yang lucu; menekuk ke bawah dengan matanya yang berkaca-kaca seperti anak kucing yang lapar. Melihatnya, Mark tersenyum tipis dan berusaha keras untuk tidak menjamah pipi tembam milik Echa dengan tangannya.
“Sa — aku,” jeda. Mark meneguk salivanya gugup.
“Aku ada bekal di tas kalau kamu mau.”
Dan semuanya terjadi begitu cepat. Mulai dari Mark yang mengurusinya untuk makan hingga mempersilahkan Echa untuk menghabiskan bekal miliknya seorang diri. Echa sudah memaksa Mark untuk makan juga, namun sepertinya lelaki itu memang memiliki ketertarikan nol besar terhadap makanan. Seperti halnya saat ini, alih-alih menyantap makanannya berdua dengan Echa, Mark justru berkutat dengan buku-buku miliknya. Lelaki itu memutuskan untuk membuat tugasnya.
Mark duduk di sana, menyandar pada rak buku sambil memangku buku-bukunya. Cahaya yang datang dari ponselnya menjadi satu-satunya penerang selain cahaya bulan yang merambat lurus ke dalam ruangan. Kacamata bulatnya masih setia membingkai wajahnya. Melihat itu, membuat Echa diam-diam memikirkan sesuatu. Sekiranya, apabila Mark melepas kacamatanya, apakah wajah Mark akan mirip sekali dengan Mika? Echa menggelengkan kepalanya tanpa sepengetahuan Mark. Dengan mulut yang penuh terisi nasi dan juga ayam suwir balado, Echa merapalkan sebuah sumpah apabila Mark dan Mika sangatlah jauh berbeda!
Tidak ada mirip-miripnya!
Atau mungkin Echa sendiri lah yang menolak kemiripan diantara dua orang itu.
Tapi kalau boleh jujur, Mark dan Mika itu nyaris tidak ada bedanya. Mereka bagaikan pinang dibelah dua. Mungkin perbedaannya terletak pada sifat yang dimiliki keduanya.
Serentetan kalimat yang ditulis dalam bahasa Inggris berhasil menenggelamkan Mark hingga pemuda itu tidak menyadari apabila Echa sudah selesai makan dan kini tengah duduk di sampingnya. Mark salah tingkah sebab Echa duduk dengan begitu… manis? Lelaki itu duduk dengan kedua kaki yang berselonjor ke samping.
Seperti anak baik, seperti anak cantik.
Itulah bagaimana suara dari otak Mark yang berbicara.
“Lagi apa?”
“Nulis-nulis aja.” Mark memperlihatkan buku tulisnya kepada Echa yang isinya terlihat seperti kamus dua bahasa.
Dan Echa pun menyimaknya dengan antusias. Ia memperhatikan tulisan tangan Mark yang tidak begitu buruk, terlukis dari baris teratas hingga baris paling bawah dengan rapih. Ada noda tip-x juga di sana namun tidak sebanyak yang dipikirkan.
“Ini emang tugas dari dosennya? Kok banyak banget, sih? Gak pegel?” tanya Echa.
Setelah makan, rupanya kelinci kecil itu kembali bawel. Hal itu membuat Mark terkekeh sembari membolak-balik halaman buku tulisnya. Kalau diperhatikan, omongan Echa memang benar adanya.
“Nggak, ini aku buat untuk belajar sendiri.” kata Mark.
Dan Echa lagi-lagi dibuat jatuh hati. Sepertinya ia kagum dengan semua yang dilakukan oleh Mark.
Echa menemani Mark belajar dengan antusias. Si manis aktif berbicara sedangkan yang satunya hanya diam mendengarkan sembari tertawa. Mereka membicarakan banyak hal mulai dari kosa kata bahasa Inggris yang sedang Mark tulis, Raja sahabatnya Echa sedari kecil, Bang Rembo dan agar-agar hellokitty kesukaannya. Semuanya Echa ceritakan kepada Mark, semuanya Echa beritahukan kepada Mark.
“Serius bisa bikin masjid?” tanya Mark dengan sisa-sisa tawanya.
“Ih, nggak percaya? Bang Rembo jago bikin apa aja!”
“Apa aja emang?”
“Banyak, tau! Hellokitty bisa, mesjid bisa, perahu titanium — eh! Titanic!”
Mark tertawa sedangkan Echa membungkam mulutnya dengan satu tangan. Dibalik tangan itu, diam-diam Echa mengulas senyum. Ia senang dan bahagia bisa membuat orang yang ia sukai tertawa. Echa berdoa dalam hati semoga tawa Mark akan senantiasa menghiasi harinya. Echa juga berdoa dalam hati semoga tawa Mark tak akan pernah pudar. Selamanya di sana, bertahta menghiasi wajah tampannya sebab Mark pantas. Mark pantas berbahagia.
“Ngantuk?”
Mark bertanya ketika ia melihat Echa menguap. Yang ditanya pun langsung menganggukan kepalanya sembari mengucek-ucek matanya seperti anak balita yang ingin tidur.
“Tidur, gih?”
“Kamu nggak?”
“Nanti dikit lagi,” Mark membuka jaketnya dan memberikannya secara cuma-cuma untuk Echa. Echa pun menerima jaket itu dengan semburat kemerahan yang luar biasa di pipinya. Ia merunduk, berusaha menyembunyikan itu semua dari Mark.
“Raja masih belum balas pesanmu?”
“Belum. Kayanya dia udah tidur, deh?”
Bohong, Echa berbohong kepada Mark.
“Mika juga belum angkat telfonku. Kayanya dia juga udah tidur?”
Dan Mark juga berbohong kepada Echa.
Dua orang itu memang sengaja ingin terjebak di dalam ruangan ini sampai pagi tiba nanti. Baik Echa ataupun Mark sama-sama tidak ada yang mengontek siapapun untuk mengeluarkan mereka dari sini. Entah apa yang ada di pikiran keduanya, yang jelas, Mark menyukai saat-saat berdua dengan Echa dan begitupula sebaliknya.
Dan entah bagaimana, entah siapa yang memulai, Echa berakhir tertidur di dalam rengkungan lengan Mark yang sebelah kiri. Dan ketika di sepertiga malam, Echa terbangun dan baru menyadari hal itu.
Perlahan-lahan ia pun mendongak, mengamati Mark yang tertidur sambil memangku buku-buku di pahanya. Dan diantara jari-jari Mark itu terdapat pulpen yang digunakannya untuk menulis. Halaman bukunya pun terbuka di bagian yang belum rampung terisi penuh.
Ketiduran, ya?
Tau? Echa hampir menangis kala atensinya jatuh pada sosok Mark yang saat ini tengah memejamkan mata. Pada sosok Mark yang memeluknya dikala ia merasa takut, pada sosok Mark yang memberinya bekal makannya secara cuma-cuma, pada sosok Mark yang mengajarinya banyak kosa kata Inggris baru, pada sosok Mark yang menyahuti obrolan randomnya dengan tawa yang tulus, pada sosok Mark yang memberinya jaket agar ia tidak kedinginan, pada sosok Mark yang saat ini berada tepat di sampingnya, tertidur lumayan pulas padahal tubuhnya dijadikan bantalan oleh manusia lainnya di ruangan ini — semua, semua yang telah dilakukan oleh Mark membuat Echa menitihkan air mata. Ia menangis karena terlalu mencinta. Ia menangis karena sosok Mark begitu membekas di hatinya. Sosoknya, perlakuannya, tutur katanya, sumpah mati Echa sangat mengaguminya.
Oleh karena itu, perlahan-lahan tanpa berniat untuk mengusik tidur Mark, Echa kembali ke dalam rengkuhan tangan Mark. Kembali masuk ke dalam sana dan menyandarkan kepalanya lagi di bahu Mark. Ia memeluk tubuh Mark, berusaha menghalau hawa dingin yang menerjang tubuh kurus Mark. Bersamaan dengan kelopak matanya yang kembali menutup, Echa pun telah bersumpah.
Ia telah bersumpah bahwa ia akan mencintai sosok pendiam dan sosok anak baik di dalam pelukannya ini secara terang-terangan.
Agar semua orang dan satu dunia tahu bahwasannya Mark yang ia cintai itu begitu luar biasa.