Baby G kini sudah berusia dua tahun. Bayi kecil yang selalu ditimang-timang papi dan daddynya itu kini sudah dapat berjalan dan bahkan berlarian kesana kemari. Lengkap dengan beragam celotehan serta nyanyian riang gembiranya yang mengisi mansion besar Levi sehari-hari.
“Ini namanya jali manis, nis~”
“Nasi goleng digoleng nggak daddy?”
“GiGi mawu~”
“Papi tantik!”
“OW.”
Namun sayangnya, G yang aktif dan pandai berbicara itu hanya dapat dilihat oleh Miura dan juga Levi. Karena selain dengan daddy dan papi, bayi perempuannya Miura dan Levi itu akan berubah menjadi sosok yang pendiam dan tak banyak bicara. Persis seperti Miura yang apabila dihadapkan dengan orang tak dikenal — pendiam dan tak banyak suara. Yang mana kepribadiannya itu kini diwariskan kepada anak perempuannya, pemalu.
Bila fisik baby G sebagian besar diwarisi oleh Levi, maka sifat dan kepribadian baby G sebagian besar diwarisi oleh Miura.
“Sayangnya daddy sudah bangun?”
Levi tersenyum kemudian mencium kening anaknya. Saat itu masih pukul delapan pagi. Baik Levi dan juga G sama-sama baru bangun sementara Miura sudah sibuk beraktivitas sedari tadi. Lelaki cantik yang masih aktif menjadi model itu kini tengah berkutat dengan alat rias dan juga kameranya di ruangan pribadi usai menuliskan sebuah note kecil untuk Levi yang bertuliskan; “Aku lagi bikin video di ruanganku. Kalau G sudah bangun, tolong kasih dia susu. Susunya sudah aku letakkan di atas nakas. Sambil diminumin susu, sambil diusap-usap kepalanya ya daddy. Kalau sudah selesai minum susunya, diajak ngobrol anaknya. Tanyain semalam mimpi apa, lalu nanti mau sarapannya pakai apa. Aku bikin video cuma sebentar, kok. Makasih ya daddy, i love you.”
Sehingga dengan itu, disinilah Levi sekarang. Duduk sambil memangku anaknya yang masih belum mau meminum susu botolnya.
“GiGi nda maw!”
“Tapi kata papi, GiGi harus minum susu sayang.”
“Nda maw!”
Levi menghela nafasnya ketika sang anak menutup mulutnya dan mulai menangis. Meskipun begitu, tatapan Levi tetap terlihat lembut dan teduh. Sambil menghapus lelehan air mata sang anak yang berlinang di pipi, Levi bertanya pelan sekali.
“Terus GiGi maunya apa sayang?”
“Maw papi… GiGi maw papina GiGi.”
Bersamaan dengan itu, muncul lah Miura dari balik pintu dengan raut wajahnya yang panik. Riasan wajahnya terlihat nyaris selesai atau bahkan sudah selesai. Entah — yang pasti lelaki cantik itu langsung bergegas ke kamar mereka usai mendengar anaknya menangis. Dan disinilah ia sekarang. Berdiri di dekat pintu kamar guna memastikan apa yang sedang terjadi. Melihat hal itu, GiGi yang semula berada di pangkuan Levi pun langsung menggeliat minta diturunkan. Levi pun menurunkannya dan membiarkan anaknya berlari menghampiri papinya yang sudah berlutut menyambutnya di sana.
“Papiiiii!”
“Disini sayang.”
Miura menyambut anaknya dengan kedua tangan terbuka, untuk kemudian ia peluk dan ia ciumi wajah mungilnya yang basah akan air mata.
“Kenapa menangis?”
“GiGi mawu papi…”
Mendengarnya, Miura pun tersenyum hangat dan menggendong tubuh kecil anaknya. Miura tampak menimang-nimang bayinya sambil menciumi pipinya berkali-kali. Sedangkan Genevieve tampak sangat nyaman berada di dalam dekap hangat sang papi. Lengannya yang kecil itu mengalung pada leher Miura erat sekali. Seolah-olah ia tidak ingin ditinggal oleh papinya lagi.
“Gak mau minum susumu yang dibotol dia,” kata Levi sambil berjalan mendekati keduanya.
“GiGi nggak mau mimi susu, sayang?” tanya Miura sembari menyisiri rambut ikal anaknya yang tampak berantakan khas orang bangun tidur.
“Nda mawu cucu ituw… mawuna cucu nenen.”
Levi sempat-sempatnya mencuri sebuah ciuman pada bibir Miura yang telah dipoles pewarna bibir dan tertawa usai mendengar ucapan anaknya yang terdengar polos sekali.
“Mawunya cucu nenen iyaaa? Bayi mawunya cucu nenen nda mawu cucu botol mmm?” goda Levi pada bayinya yang kini tengah menatapnya bingung. “Padahal kan cama aja tawuuu! Cama-cama cucu papi ituuuww.” kali ini Levi menggoda sambil menciumi pipi tembam GiGi dengan gemas. Tangannya juga tak bisa diam. Levi mengusak-usak perut bayinya dan hal itu sukses membuat Genevieve berteriak serta menangis lagi.
Levi pun sukses menuai respon berupa decakan lidah dari Miura karenanya.
“Udah dong Lev…”
Levi tertawa. Genevieve menangis. Dan Miura lah yang bertanggung jawab untuk menenangkan anaknya.
Miura membawa Genevieve menuju ranjang untuk disusui — meninggalkan Levi yang baru saja izin untuk menengok Levon di lantai bawah. Miura memposisikan anaknya setengah tidur di atas pangkuannya sementara Genevieve mulai memelankan tangisnya ketika sang papi mulai membuka kancing-kancing bajunya. Gestur yang Genevieve hafal bahwasannya sang papi akan menyusuinya. Oleh karena itu dengan nafas yang tersendat-sendat, Genevieve mulai terdiam dan berusaha menggapai dada Miura dengan jari-jari tangannya yang kecil.
Melihat hal itu, Miura pun langsung mengarahkan puting susunya ke mulut bayinya dan mulai menyusui Genevieve dengan tenang. Miura tampak mengusap-usap kepala G sebagaimana pesannya kepada Levi tadi. Sesekali, Miura juga mengajak anaknya berbicara dengan tujuan supaya Genevieve tidak kembali tidur selagi disusui.
“Anaknya papi, sayangnya papi. Haus ya nak?”
Miura tersenyum memperhatikan bagaimana mulut kecil itu menghisap putingnya dengan rakus. Satu tangannya yang tak menopang tubuh Genevieve digunakan untuk membelai lembut kepala bayinya berkali-kali. Tangan kanan Genevieve yang terulur memeta wajahnya pun ia genggam setelahnya, untuk kemudian ia ciumi jari-jarinya dengan penuh sayang.
“Kamu udah selesai bikin videonya?” tanya Levi yang rupanya sudah kembali usai menengok anjing peliharaannya di lantai bawah.
Lelaki yang hanya mengenakan celana tidur tanpa mengenakan atasan itupun menghampiri Miura serta bayinya yang tengah duduk di atas ranjang — untuk kemudian turut bergabung dengan duduk di belakang Miura dan memeluknya.
“Belum,” sahut Miura namun tak berpaling sedikitpun dari wajah Genevieve yang tengah disusuinya. “Anakku nangis, jadi aku jeda dulu.” sambungnya dan kemudian tersenyum setelahnya karena Genevieve yang tiba-tiba saja menyunggingkan senyum kepadanya.
Levi yang melihat hal itupun turut tersenyum dan berkata, “Lagi bilang makasih itu G sama kamu.”
“Terimakasih juga sayangnya papi. Terimakasih sudah jadi anaknya papi sama daddy.” Miura mencium pucuk kepala Genevieve dan jujur saja, ia hampir menitihkan air mata.
Dada bidang Levi yang menempel pada punggungnya pun menjadi sandaran yang pas. Miura menyandar pada Levi sembari menyusui anak mereka.
“Terimakasih juga buat papi.” bisik Levi yang berhasil membuat Miura menoleh ke arahnya.
Rasa-rasanya Miura seperti tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari wajah Genevieve. Padahal, kedua matanya sedang memandang ke arah Levi kini. Itu semua karena wajah keduanya benar-benar mirip sekali. Sepasang mata bulat, hidung kecil yang mancung, serta bibir tipis dan dagu yang kecil. Semua fitur wajah yang dimiliki Levi juga dimiliki oleh Genevieve. Yang berbeda diantara keduanya hanyalah rambut. Apabila rambut Levi lurus, maka rambut milik G ialah ikal gantung. Sama seperti Miura.
Oleh karena itu, Levi memberi keduanya nama panggilan berupa Iting dan Icil, iting kecil.
“Terimakasih buat papi yang selalu bekerja keras tapi tetap memprioritaskan anaknya.” Levi mengecup pelipis Miura sebelum kembali berucap, “Prioritasin aku juga. Prioritasin Levon.”
Tadinya, tujuan ia menengok Levon yaitu hendak mengajak anjingnya bermain sebentar sambil mengisi makanan pada mangkuk milik Levon. Namun sepertinya seseorang sudah lebih dulu mengisinya sebelum dirinya. Dan orang itu pastilah manusia yang saat ini tengah berada di dalam dekapannya — yang tengah memberi anaknya makan sembari menyayanginya dengan usapan lembut di wajah.
“You’re a super papi.”
“Super papi?”
Levi tersenyum kala mendapati pipi Miura yang bersemu malu. Kedua tangannya yang melingkar di sekitar tubuh Miura dan juga anak mereka pun ia eratkan. Seolah-olah dengan itu, ia melindungi kekasih dan juga buah hatinya dari apapun.
“Yes, you’re a super papi. So cool and lovely.” Levi mencium bibir Miura dan melumat bibir atasnya dengan tempo pelan. Keduanya tampak memejamkan mata mereka sebab sama-sama hanyut dalam ciuman hangat yang penuh kasih dan sayang.
“Makasih buat sarapannya ya sayang. Aku sudah makan. Enak sekali.”
“Levi suka?”
“Suka.”
Mendengarnya, Miura tersenyum dan mengarahkan pipinya ke arah Levi. Meminta Levi untuk menciumnya lagi. Levi pun langsung menciumi pipi Miura berkali-kali dan mengakhirinya dengan kecupan ringan di pelipis. Lelaki itu juga menunduk untuk mendaratkan dua buah kecupan pada pipi tembam GiGi yang lagi-lagi membuat anaknya berteriak. Tanda tidak ingin diganggu. Namun kali ini, bayi bule itu tidak menangis.
“Nanti setelah nyusuin G dan nyelesain video kamu, bobo lagi ya sayang?”
“Tapi nanti G gimana?”
“Ada aku.”
Bagai asupan vitamin, ucapan dan senyuman Levi berhasil membuat tubuhnya yang semula lelah terasa menjadi fit kembali. Sambil tersenyum dan mengangguk, Miura mencium bibir Levi sekali lagi dan berkata di dalam hati bahwasannya ia sangat menyayangi lelaki ini.
“Iya, ada kamu.”
[]