Rumah besar itu terawat dengan baik, terbukti dengan tanaman-tanaman di pekarangannya yang bermekaran dengan indah. Echa tak bisa menahan senyumnya ketika ia melihat bunga matahari yang mekar dengan sempurna di bawah sinar sang surya; menghantarkan energi positif serta aura cerah yang berhasil mewarnai harinya. Pintu ganda yang terbuat dari kayu jati asli itu tak membutuhkan waktu lama untuk terbuka sejak ketukan Echa yang pertama. Menampilkan sesosok wanita paruh baya yang sudah mulai Echa kenali sebagai Bi Aan.
“Eh, ada si cantik! Masuk, masuk! Kokonya ada di dalem.” kata Bi Aan dengan sumringah, yang mana dibalas tak kalah sumringahnya oleh Echa.
“Makasih bibi. Markanya udah sarapan belum?”
“Belum kayanya. Bibi tadinya tuh mau masak tapi kata koko gak usah, pacarnya mau bawa makanan katanya gitu.”
Echa pun terkekeh dan mulai melangkahkan dirinya untuk masuk ke dalam rumah itu. Ketika ia sampai di ruang tengah, hal pertama yang dilihatnya adalah sosok Mika yang sedang berdiri membelakanginya. Laki-laki itu tengah menghadap kulkas dan sepertinya sedang minum sesuatu dari dalam sana.
“Ih, sakit bohongan ya lu?”
Mendengarnya, Mika sontak terkejut. Air putih yang berada di dalam gelasnya pun hampir tumpah ke lantai karena terguncang.
“Suudzon mulu gendut.”
Saat itu Mika sedang mengenakan celana pendek dan kaus hitam berlengan buntung. Rambutnya terlihat berantakan khas orang bangun tidur sekali.
“Mana koko gua?”
“Lah? Harusnya gue dong yang nanya dimana pacar gue.”
“Bukannya dia jemput lu?”
“Bukannya dia jagain lu?”
Mika menyeka sisa air putih di atas bibirnya menggunakan punggung tangan. Lelaki itu melirik Echa sekilas sebelum berbalik badan, memulangi gelas yang habis ia pakai ke tempatnya semula.
“Ditelfon coba. Belum makan dia tuh.” kata Mika sembari berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
“Mau kemana?”
“Kamar.”
“Kata koko lu suruh makan dulu, woi! Minum obaaaat!”
“Iya nanti bareng sama koko. Bawel.” ucap Mika sebelum dirinya benar-benar menghilang di balik pintu kamarnya.
Andai saja mereka berdua saat ini tengah berdekat-dekatan, maka sudah dipastikan Echa akan menginjak kaki lelaki yang tak lain tak bukan adalah adik dari kekasihnya itu.
Echa pun memutuskan untuk meletakkan barang-barang bawaannya terlebih dulu pada salah satu sofa yang ada di sana. Sedangkan masakannya ia letakkan di atas meja makan. Si manis berpesan lebih dulu kepada Bi Aan untuk menyajikan ayam tepung itu untuk Mika. Sebab anak itu harus minum obat dan waktu sudah hampir menunjukkan jam makan siang.
Ponselnya sedari tadi tidak menampilkan notif apa-apa. Dimana Marka? Dimana kekasihnya? Echa mengelilingi rumah besar itu dan memeriksa tiap-tiap ruangannya. Dan pada akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan yang begitu menyita perhatiannya.
Echa membaca tulisan yang tertempel di pintunya sambil terkekeh, kemudian membuka pintu itu dan ia cukup terkejut melihat isi dari ruangan tersebut.
Rupanya sebuah perpustakaan kecil, ya?
Kalau begitu, maka suatu kemungkinan besar apabila mungkin kekasihnya berada di dalam.
Pintu itu ditutup sepelan mungkin, pun dengan langkah kakinya yang diusahakan menapak seringan kapas. Echa tidak ingin menciptakan suara sekecil apapun. Antara terlampau terkesima dengan banyaknya buku yang ada di dalam ruangan itu atau ia ingin membuat kejutan untuk Marka. Apapun itu yang jelas Echa tidak ingin membuat kegaduhan sekecil apapun.
Ruangan baca milik kekasihnya itu tidak bisa dikatakan besar. Namun juga tidak bisa dikatakan kecil. Ukurannya pas, terasa nyaman dan terasa hangat bagi siapa saja yang membaca buku di sana. Sebab ukurannya yang mungil, bau aneh yang mulai tercium dari radius yang dekat itu pun berhasil membantu Echa menemukan kekasihnya di sana; tengah duduk mengampar di lantai sembari merunduk memegangi kepalanya.
Marka terlihat seperti orang yang tengah dilanda banyak pikiran. Sedangkan satu tangannya yang lain mengapit sebatang rokok yang sudah terbakar setengah. Bahkan ketika Echa sudah berada di hadapannya pun, Marka masih belum menyadari keberadaannya. Entah apa yang tengah lelaki itu gulati dengan isi kepalanya sehingga membuatnya menopang kepala itu seolah-olah terasa sangat berat.
Echa ingin tahu.
Echa ingin membantu mengurangi beban itu.
Si manis sengaja menciptakan suara kecil yang dihasilkan dari hentakan sepatunya. Hal itu berhasil menyita perhatian Marka dan membuat lelaki itu mendongak. Betapa terkejutnya Marka ketika mendapati kekasihnya saat ini tengah berdiri di hadapannya.
Tidak dengan rokok di tangannya.
Tidak dengan penampilannya yang berantakan seperti sekarang.
“Sayang?”
Echa diam, ia tak menyahuti panggilan dari kekasihnya itu. Namun lelaki manis itu tersenyum dan merundukkan dirinya untuk duduk bersimpuh di hadapan Marka. Echa mengambil posisi tepat diantara kedua kaki kekasihnya, yang mana membuatnya kini berhadap-hadapan dengan Marka sama-sama sejajar.
Mata ke mata, hidung ke hidung, dan mulut ke mulut.
Echa merebut rokok itu perlahan-lahan dari tangan Marka, untuk kemudian ia sundutkan pada tembok guna memadaminya. Bibir Marka terlihat begitu kering dan Echa menyapunya lembut dengan ibu jari. Tak ada percakapan yang melibatkan keduanya kini. Baik Marka ataupun Echa sama-sama jatuh dalam pesonanya masing-masing.
Di mata Marka, kekasihnya tampak berkali-kali lipat lebih cantik hari ini. Echa memoles wajahnya dengan sedikit perona pipi. Bibirnya yang tebal juga disapukan pewarna bibir yang Marka yakini memiliki rasa yang manis seperti yang sudah-sudah. Tahi lalat buatan dari eye-liner juga ditambahkan lelaki itu pada ujung mata dan bagian bawah alisnya, yang mana membuat wajahnya berkali-kali lipat lebih seksi dan juga manis.
Sungguh, Marka tak dapat menahan hasratnya untuk tidak menangkup wajah secantik boneka itu dengan tangannya sendiri.
Telapak tangan Marka yang menjamah kulit wajahnya terasa kasar. Namun Echa tetap merasa nyaman dan sekarang tengah sibuk mendusal di sana. Bergelung manja bak seekor kucing kecil yang mengharapkan kehangatan, yang mana dilakukannya dengan sengaja agar Marka semakin ingin menyentuhnya lebih jauh. Dengan harapan agar sang kekasih dapat lebih mudah mengeluarkan isi hati dan juga pikirannya nanti.
Echa memposisikan kedua tangannya di atas bahu Marka ketika kekasihnya itu mencondongkan tubuhnya ke depan, hendak menciumnya. Dan Echa terlihat seperti penggoda ulung sebab si manis tak kunjung memberikan apa yang kekasihnya inginkan. Ia kerap menjauhi wajahnya ketika bibir Marka sebentar lagi akan mendarat di atas bibirnya.
“Tadi yang ke berapa?”
Jarak keduanya begitu tipis, bahkan Marka dapat merasakan nafas Echa yang menderu menerpa wajahnya. Pucuk hidung keduanya berkali-kali saling menyentuh dan bergesekkan satu sama lain. Sangat intim, namun tak kunjung-kunjung mencampai klimaksnya.
Marka sudah tak bisa berpikir dengan jernih lagi. Yang ada di dalam kepalanya hanyalah bibir ranum milik Echa yang harus ia lumat dan ia kulumi. Kedua matanya seakan-akan berkabut. Lelaki itu memajukan kembali wajahnya dan mengejar bibir ranum itu lagi namun empunya masih terus saja berlari.
“Tadi yang ke berapa?” Echa mengulangi pertanyaannya lagi. Kali ini dengan nada yang terdengar serius.
“Enam, tujuh? Aku gak tau pasti.”
Dan barulah si manis menyerahkan dirinya pada sang kekasih. Membiarkan Marka mencumbu bibirnya dengan rakus sampai-sampai ia harus menahan tubuh kekasihnya itu dengan kedua tangannya. Si manis mengernyit di sela-sela ciuman keduanya ketika rasa pahit itu mulai menjalar di lidahnya. Mulut Marka terasa seperti rokok dan sejujurnya Echa tidak menyukai itu. Sejujurnya ia bisa saja melepas pagutan keduanya sekarang. Namun Echa memilih untuk mengurungi niatannya tersebut dan tunduk dibawah dominasi Marka.
Pagutan keduanya berakhir ketika untaian saliva itu menetes berkali-kali di bawah dagu Echa. Sebab Echa tidak menelan saliva Marka seperti biasanya. Sebab saliva Marka sekarang rasanya seperti rokok dan Echa tidak suka.
Marka menciumnya seolah-olah ia tengah memakan bibir Echa. Membuat ranum itu terlihat bengkak dan semakin memerah kini. Usai membersihkan dirinya sendiri, Echa dengan telaten turut membersihkan sisa-sisa lelehan liur milik keduanya di sudut bibir dan juga dagu Marka. Si manis juga menangkup wajah mungil kekasihnya itu untuk kemudian dibanjiri dengan kecupan-kecupan hangat yang menenangkan. Rambut Marka yang mulai memanjang itu disisiri dengan ibu jarinya. Echa menyayangi kekasihnya layaknya seorang ibu yang mengasihi anaknya.
“Pacarnya keliatan murung. Makanya aku disini mau nemenin dia, mau ngehibur dia.”
Echa merubah posisi duduknya yang semula bersimpuh di hadapan Marka, kini menjadi duduk membelakangi kekasihnya. Namun letak pantatnya berada di antara dua kaki Marka yang saat ini terlihat seperti tengah memenjarakan dirinya. Echa kemudian menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Marka. Kedua tangan kekar Marka ia biarkan memeluk pinggangnya dengan begitu erat.
“…”
Echa juga tak lupa untuk menurunkan kardigan wol miliknya sampai sebatas pinggang untuk memudahkan Marka menjamah leher dan juga bahu telanjangnya. Marka membutuhkan itu agar emosinya dapat tetap berjalan dengan stabil.
“Ada yang salah sama aku hari ini.” akhirnya Marka bersuara. Suaranya terdengar begitu berat dan lesu, membuat Echa langsung mencium pucuk hidungnya dan juga mengelusi pipinya penuh sayang.
“Apa? Apa yang salah sama pacar aku?” Echa berbicara dengan nada yang lembut dan mendayu. Sepertinya ia paham apabila Marka senang jika diperlakukan seperti itu.
“Mika gak mau makan apapun selain masakan kamu. And i’m jealous of that. I’m jealous of my little brother.”
Echa mendengarkannya dengan penuh atensi. Lelaki manis itu tak henti-hentinya membelai kepala dan juga wajah Marka dengan lembut, seolah-olah tengah berupaya menyalurkan perasaan cinta dan kasih sayangnya yang begitu besar pada sosok manusia nyaris sempurna yang kini tengah memeluknya dari belakang itu.
“Gak cuma itu. Waktu aku tau dia sakit, aku juga gak tau harus berbuat apa. Bahkan aku harus nanya dulu ke mami. Padahal aku ini kokonya Mika, harusnya aku bisa sigap jagain dia dalam kondisi apapun.”
“I’m not a good older brother, bun.”
Echa menyikapi kekasihnya dengan berusaha untuk tetap bersikap tenang. Si manis memberikan usapan lembut pada punggung tangan Marka yang melingkari dadanya. Echa menoleh hanya untuk membubuhkan beberapa buah kecupan ringan di pucuk kepala Marka yang saat ini dapat dijangkaunya dengan mudah.
“Udah? Pacarnya masih ada yang pengen diomongin lagi, nggak?”
Marka menggeleng, wajahnya disembunyikan pada ceruk leher Echa.
“Sekarang boleh gantian pacarnya yang ngomong?”
Marka mengangguk dan Echa tersenyum. Echa memutar tubuhnya sedikit ke samping agar setidaknya ia bisa menatap Marka secara keseluruhan.
“Ini,” Echa meletakkan telapak tangannya di atas dada Marka. “Valid.”
“…”
“Karena aku pacarmu. Aku punyamu. Dan kamu sayang aku. Sama halnya kayak Mika minjem barang kesukaanmu. Entah itu mainan atau baju kesukaan. Kamu mungkin memang tetap akan kasih, tapi pasti ada sedikit perasaan gak rela, kan?”
“Tapi kamu bukan barang…” Marka merengek, bibirnya menekuk ke bawah dan kedua matanya tampak berbinar-binar. Sebentar lagi tangisnya akan pecah.
Echa tertawa dan langsung memeluk kekasih mungilnya itu. Ia memposisikan dirinya seperti koala yang hinggap di atas tubuh Marka, yang kini memeluk tubuhnya dengan kedua kaki dan juga kedua tangannya.
“Uuuu sayang, sayangku. Iya, iya. Bukan barang yaa.”
Wajah Marka kini sepenuhnya tenggelam pada dada Echa. Si manis mendekap kepala kekasihnya penuh sayang sambil sesekali membanjiri wajah Marka dengan ciuman.
“Tapi poin yang pengen aku sampaikan bukan itu, mungil. Tapi rasa gak rela yang kamu alamin dan berakhir kamu pendam sendiri. Menurutku, itu sama artinya dengan sebuah bentuk pengorbanan, tau.”
“Dan soal kamu yang gak tau harus ngelakuin apa pas liat adikmu sakit, itu bukan berarti kamu kakak yang buruk buat dia.” Echa membawa kepala Marka supaya mendongak ke arahnya. Ia menyisiri helaian rambut Marka dengan lembut. “Karena menurut aku itu wajar. Kamu udah pasti panik ngeliat Mika sakit. Makanya kamu gak bisa berpikir jernih. Terkadang manusia butuh beberapa detik untuk bisa mencerna suatu kejadian.”
“Dan perihal kamu yang nanya solusi ke mami juga bukan berarti kamu gak bisa diandalkan, sayang. Itu memang naluri seorang anak sama ibunya. Berapapun usia kamu sekarang, bisa dikatakan dewasa atau belumnya, kamu pasti akan selalu butuh mami kamu seumur hidup. Karena aku juga begitu. Mika juga begitu.”
Marka menangkup separuh wajah Echa dengan tangannya, untuk kemudian membelai pipi tembam itu dengan ibu jarinya. Marka sungguh merasa sangat beruntung memiliki alam semesta dan seisinya yang yang berpadu menjadi satu ke dalam sebuah raga manusia yang dapat ia sentuh dan yang dapat ia pamerkan kepada dunia sebagai ‘kekasihnya’.
“Tau? Kalau gak ada kamu, mungkin aku bisa habisin satu bungkus rokok hari ini.”
Tanpa perlu bertanya, sepertinya Echa sudah paham mengapa rokok itu bisa berada di tangan kekasihnya dan mengapa Marka bisa terjerumus dengan benda sialan itu. Sebab Marka melarikan dirinya ke rokok sebagai bentuk pelampiasan dari isi pikirannya hari ini yang sukses merundungnya seperti bajingan. Membuat anak baiknya itu menjadi berpikiran yang tidak-tidak dan mengatakan kalimat-kalimat yang bagi Echa sungguh terdengar sangat tidak masuk akal.
“Koko anak baik, koko anak paling baik.” ucapan Echa membuat Marka lagi-lagi mendongak dan menatapnya sambil tersenyum hangat.
“Jangan pernah bilang kamu bukan koko yang baik lagi. Jangan pernah bilang gitu diatas semua pengorbanan kamu buat Mika selama ini. Jangan pernah bilang gitu lagi.”
– Sebab bukan hanya aku. Melainkan seisi dunia ini tahu bahwasannya kamu selalu mengusahakan kebahagiaan adikmu diatas bahagiamu sendiri.